Senin, 29 September 2014

Cerpen- You're Sky, I'm Earth

Kau langit yang tak mungkin tersentuh oleh gapaian tanganku
Di sini, bumi, tempatku berpijak
Hanya berandai-andai setiap menatapmu
Kau yang jauh di sana
Akankah bisa bersatu?
Nya, lihatlah ke blkg…
Mendapati Short Message Service yang baru dibukanya, Anya membalikkan badannya, mencari sosok yang mengirimi pesan tersebut kepadanya. Sebuah blitz seketika menimpa wajahnya, silau. Terlihat senyum simpul yang mengembang dalam wajah di balik kamera digital yang baru saja membidik. Dasar Benny. Anya menimpalinya dengan senyuman manis.
“Ayo, bergayalah.” Benny Mengangkat kameranya siap memotret kembali.
Malu-malu, Anya dalam balutan seragam abu-abu putihnya mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
“Ben, aku juga mau donk.”
Seorang gadis lain datang langsung berpose di depan Benny, membelakangi bangku Anya.
“Tapi bukan di sini. Di luar, lebih bagus pencahayaannya.”
Benny mengangkat bahunya. “Baiklah. Fani”. Dia bangkit dari bangkunya menyusul Fani yang berjalan dahulu. Tangannya melambai saat melewati bangku Anya. Keduanya menghilang di balik pintu.
Terdengar suara pintu yang tergeser, diikuti derap langkah kaki-kaki memasuki toilet. Riuh suara gadis-gadis itu.
“Sudah kubilang kan, produk itu tidak cocok denganmu. Lihat, wajahmu sekarang.” Seru gadis dengan suara manja.
“Ah, mana kutahu. Tante Mega yang memberiku cuma-cuma, siapa yang tak mau. Lagian kau tahu sendiri kan bagaimana aku ingin terlihat putih dan bersih.” Timpal gadis lain bersuara cempreng.
“Lain kali, turuti ucapanku. Begitukan hasilnya?”
Sesaat sunyi senyap. Menyisakan suara gemericik air.
“Hmm… aku sangat iri dengannya.” Gadis cempreng itu berkata.
“Siapa?”
“Kau tahu sendiri, gadis tercantik di SMA ini, kalau bukan Fani.”
“Kau benar, ia betul-betul cewek idaman. Cantik, kaya, pintar, ketua pemandu sorak dan seorang model pula. Ahh, mengapa semua kesempurnaan Tuhan berikan kepadanya.”
“Tapi, Tuhan adil.” Kali, gadis lain nimbrung bicara. Suaranya tenang berbeda dengan kedua lainnya. “Soal cinta, ternyata Fani masih belum berhasil mendapatkan hati Benny.”
Seseorang menggerutu, suaranya cempreng.
“Bagaimana berhasil, jika gadis jelek itu selalu di samping Benny. Apa sih spesialnya dia? Sampai-sampai si tampan itu juga mendekatinya. Aku rela, dia bersanding dengan Fani. Tapi dengan Anya, aku sangat tidak terima.”
“Aku sendiri juga tidak mengerti. Apa sih yang dilihat darinya. Pendek, berkacamata, dan kucir kudanya yang selalu bikin aku tidak nyaman tiap melihatnya.” Ujar gadis centil.
Tiba-tiba bel berdering. Percakapan mereka terhenti. Pelajaran selanjutnya akan dimulai.
Pintu toilet kembali tergeser, gadis-gadis itu keluar dengan suara riuhnya kembali. Tertutup kembali. Sepi. Meninggalkan suara tetes air yang mengalir dari kran wastafel yang tidak sepenuhnya tertutup rapat. Dari ujung kamar toilet, terdengar suara air yang terbilas. Pintunya terbuka. Seorang gadis keluar. Kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya, dilepasnya. Matanya menatap bayangannya sendiri dalam cermin panjang yang mengisi sepanjang dinding.
“Kurasa benar” dia mendesah.
Tiba-tiba terdengar lagu Mata Aimashou- Seamo. Anya segera mengambil ponsel genggamnya, ada SMS masuk. Segera dibukanya.
Pastikan kau datang ya. Sebentar lagi akan datang kiriman. Ku harap kau memakainya nanti. Aku akan senang melihatmu di sana. Sampai ketemu. Let’s party.
Anya melepaskan tatapannya dari layar laptop di hadapannya. Matanya menerawang ke jendela. Korden putih yang menghiasi jendela itu bergerak-gerak terhembus angin, membuka cakrawala di luar. Langit terlihat cerah, biru menenangkan. Menyeduhkan mata yang memandang. Namun bagi Anya. langit siang itu mendung. Saat ini dunianya berkubang dalam kegalauan.
Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana, Ben? Kalau kau terus begini, kau membuatku tidak nyaman…
Seharian HP-nya sudah puluhan penuh SMS dan miss-called Benny. Menyerah akhirnya Anya memutuskan untuk datang. Kurasa semuanya akan baik-baik saja. Aku cuma cukup datang dan setelah itu pergi.
“Anya.” Suara itu memanggilnya.
Anya menoleh, melihat seseorang dalam balutan jas putih berjalan menerobos kerumunan ke arahnya. Kafe besar itu ramai, bukan karena para pengunjung yang ingin menikmati secangkir kopi atau steak daging domba, namun oleh para remaja yang mengobrol riuh dalam pesta ulang tahun. Suara musik mengalun dalam keindahan sang malam.
Anya menahan napasnya sejenak. Lalu perlahan-lahan ia mengembuskannya ketika Benny datang menghampiri.
“Aku tahu, kau pasti datang.” Senyum Benny lebar.
“Kau benar-benar cantik sekali malam ini, Anya.”
Tiba-tiba seseorang berseru memanggil Benny. Mereka menoleh. Di seberang ruangan, seseorang melambai. Benny membalas dengan lambaiannya tangannya pula. Lalu beralih menatap Anya.
“Kau tak apa, kutinggal sebentar.”
Anya menggangguk. “Baiklah.”
Setelah melihat sosok Benny menghilang di antara kerumunan orang-orang, Anya berjalan ke arah meja yang berisi banyak kudapan.
“Hei, Anya,” sapa Nita dengan suara cemprengnya saat Anya berdiri mengambil salah satu kue dengan pinggiran krim untuk dimakannya.
Anya menoleh. Geng tiga cewek yang menyebut diri mereka, wondergelis, muncul di hadapannya.
“Woo, lihat si bebek buruk rupa malam ini seperti angsa putih.”
Terdengar suara “wuuu” mengekor dari dua cewek lainnya. Ketiganya seakan senang. namun Anya tak menghiraukan. Ia memilih mengisi piringnya dengan kue-kue. Daripada menanggapi ocehannya, lebih baik mengisi perut yang kelaparan sedari sore.
“Namun sayangnya sang pangeran tidak tertarik padanya. Dia lebih memilih bicara dengan putri yang sejati.”
Kali ini, Anya menghiraukan. Mata Anya dilayangkan ke seberang ruangan. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Sesak.
“Serasi sekali mereka. Si tampan Benny dan si cantik Fina” Sanjung Feli, dengan suara yang terkesan manjanya.
“Kau tahu, langit sangat jauh dengan bumi. Biarkan ia bersanding dekat dengan sang bintang yang berkilau. Itu akan terlihat sangat cantik. Jadi, kuharap menyingkirlah kau”.
Nita menyunggingkan senyum sini, “Sangat mudah seperti angin… fiuuuhhh.” Tangannya mengibas kasar mengarah ke piring Anya.
“Ups, aku tidak sengaja.” Nita mengalihkan pandangannya ke arah lain, seakan tak berdosa. Gaun Anya kini pun penuh noda krim.
“Itu memang pantas bagimu.” Sambung Nita.
Suara tawa ketiganya membahana.
“Kau sungguh memalukan, Nita.”
Benny berseru, dia berjalan cepat menghampiri mereka.
“Kukira ku sudah berubah, tapi tidak. Aku tahu kau yang menyebar gossip itu. Aku tak suka kau mengejek Anya.”
“Tapi, Ben. Aku tak suka dia selalu berada di sisimu.”
“Itu menurutmu, tapi aku mencintainya.”
Mata Nita terbelalak. Tak percaya. Feli dan Reta –cewek satunya-. Seluruh ruangan hening. Tak ada percakapan.
Benny langsung mengandeng Anya. Membawanya keluar dari pesta.
Di luar udara berhembus dingin. Tiada suara. Hening.
“Maafkan mereka.” Benny membuka mulutnya.
Anya menunduk. Kepalanya menggeleng.
“Mereka tak salah, aku yang salah memposisikan diri. Dari awal seharusnya aku tak di sini.”
Anya tak berani menatap Benny. “Maafkan aku,” Kakinya melangkah pergi.
Tiba-tiba tangan Benny memegang siku Anya, menahannya untuk tidak pergi. “Ini juga berat bagiku. Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.”
Kaki Anya tertahan. Napasnya tercekat kembali.
“Kau tak perlu sempurna. Adanya kau, sudah melengkapi hidupku. Apa yang kukatakan tadi di dalam, tulus. Maafkan aku yang selama ini tidak tegas dalam hubungan ini. Aku sungguh mencintaimu, Anya”.
Malam itu langit terlihat cerah disinari rembulan. Bersih tanpa bintang-bintang yang berkelip menghiasinya seperti malam-malam sebelumnya. Menjadi saksi akan dua insan remaja berpelukan, mengikat kasih. Tanpa perbedaan di antaranya.
Cerpen Karangan: April Santoso
Facebook: April La Lotus

Cerpen- Awan Hitam

Langkahku terbawa ke bibir pantai ini. Seperti hari-hari yang lalu, aku akan ada disini saat hati sedang bergelayut gundah. Laut adalah tempatku bercerita. Di atas sebatang nyiur yang tumbang aku duduk menikmati mega. Terpaan dingin angin barat di senja ini kian melarutkan lamunanku. Sejak aku sampai disini mataku tak lepas dari arakan awan hitam di langit atasku. Gumpalan awan yang begitu tebal, menutupi mentari sore melepas sinarnya. Hingga membuat semburat jingga di ujung barat mewarnai langit biru.
Mata dan hatiku sedang menyaksikan sang mentari menjadi tak leluasa melepas sinarnya. Mentari menjadi tak lega membagi cerahnya. Mentari menjadi tak senyum memberi cahaya. Mentari menjadi terkekang untuk mengayun langkahnya. Mentari menjadi terbelenggu untuk menebar asa dan hasratnya.
Lamunanku jauh menembus langit tak bertepi tinggalkan hati yang kini gundah. Mataku tak jua berkedip menerawang, walau terhalang awan hitam yang enggan beranjak. Aku tak menyukainya. Ingin rasanya angin barat berhembus kencang hamburkan gumpalannya agar sang mentari kembali cerah tebarkan terang. Karenamu jagad jadi gelap. Karenamu burung-burung jadi tak bergairah. Karenamu laut jadi tak bercahaya. Karenamu udara jadi tak hangat.
Angin sore kian terasa dingin menyengat kulitku. Hasrat mentari memberi sinarnya masih tetap kuat menembus tebal awan hitam. Di langit kulihat garis-garis tegas sinar terangnya melurus ke kaki bumi. Mencerai beraikan awan hitam dengan putih bersih cahayanya. Tapi tubuhku kian dingin oleh desiran angin pantai di ujung senja ini. Aku beranjak meninggalkan laut di hadapanku. Melangkah gontai memeluk diri kuatkan hati. Burung-burung pun kulihat mulai bergegas kembali ke sarangnya dengan sesekali bunyikan kicau indahnya, mengikuti langkah kakiku. Angin pun kini semakin deras menerpa, melambaikan semua dedaunan ke arah kembaliku. Semua mengiringi langkahku untuk pergi dari sini. Namun semua tak bergairah, terlarut dalam rasa tak berpunya. Kepak sayap burung tak sigap berirama. Lambaian daun tak meliuk indah menari.
Aku teringat dia dalam ayunan langkahku. Semua tentangnya, di semua rasa ini. Di semua asa ini, agar dia senantiasa berada dalam segala kebaikan dan biarlah semua yang terbaik menjadi miliknya, hanya untuknya.
Dalam seretan berat langkahku, mataku menatap sendu ke langit di atasku. Awan hitam akhirnya berarak jua dibawa angin, beranjak pergi mengikuti langkahku. Ia ada di atasku saat aku pergi meninggalkan tempat ini. Dan perlahan mentari pun kembali tebarkan sinar terangnya di sore ini. Di hangat cerah dan cemerlangnya beri cahaya pada seisi alam, tinggalkan siang menyambut malam dalam rona dan rasa bahagia. Awan hitam pergi terbawa angin berganti senyum mentari yang putih bercahaya, saat jejak hadirku kian sirna terhapus air pantai.
Agar segala yang terbaik menjadi milikmu, hanya untukmu. Demi bahagiamu.
Cerpen Karangan: Jenner Man

Cerpen- Hari ini, Esok, Dan Seterusnya

Aku bersembunyi di semak semak, ingin memata matai 2 insan yang telah menyakiti hatiku. Kulihat mereka tengah bercanda tawa dengan gembiranya, wanita yang kucintai bersama pria yang ku benci. Kini mereka beranjak dari taman sekolah, tempat dimana grup sekolahku dan sekolahnya pria itu bertanding basket.
Apa aku salah mencintai orang? Tapi aku yakin, dia yang terbaik untukku. Jika tidak, mengapa Tuhan mempertemukan kami? Ku ikuti lagi gerak gerik mereka, dan sekarang sepertinya Sarah dan Divan menuju loker, mungkin Divan akan ganti baju. 5 menit kemudian Divan kembali, dan kini mereka beranjak dari bangku itu.
“Ayo, sayang.” Ajak Divan, sekilas aku terkejut ketika Divan memanggil Sarah dengan sebutan kata ‘Sayang’.
“Permainan kamu bagus lho, walau gak menang tapi kamu gak pernah curang.” Puji Sarah, seharusnya disana itu aku, dan Sarah akan berkata, “Permainan kamu bagus lho, selamat ya kamu menang.”
“Makasih, abis ini kita kemana?” Tanya Divan, Sarah berfikir.
“Udah deh. Besok kan sekolah, banyak PR lagi.” Balas Sarah, Divan menyeringai.
“Oke deh,” Balasnya, mereka berlalu begitu saja tanpa bersuara.
“Ri, lo tau ga? Kemarin Divan nembak gue.. Setelah 1 minggu yang lalu bertemu.” Aku sudah menduga, sahabatku yang cantik itu akan bercerita padaku.
“Gue udah tau kok, longlast ya..” Balasku parau, Sarah menyeritkan alisnya.
“Fakhri, lo ga setuju ya sama hubungan gue?” Sarah melemas, ia tahu kalau disaat dia bahagia pasti aku tidak seperti ini.
“Gue? Setuju aja kok, asal Divannya baik sama lo dan buat lo seneng.” Balasku, Sarah tersenyum.
“Thanks ya.” Balasnya menepuk bahuku, aku mengangguk tersenyum.
Kulirik arlojiku menunjukkan pukul 06.45, artinya 5 menit lagi akan bel masuk. Aku dan Sarah duduk sebangku, dulu aku dikenal paling menjijikan. Semenjak ada Sarah yang merubahku, aku memiliki banyak teman. Aku merasa Sarah malaikat, dan dia satu satunya orang yang mau sahabatan denganku. Dari situ aku mulai menaruh hati padanya.
Sekarang, aku merasa tidak pantas untuk mendapatkannya, apalagi Divan itu kapten basket yang juga terkenal di sekolahku, aku merasa kalah dengan Divan. Shh.. Selebihnya kuungkapkan pada dunia musikku, aku menyukai musik, pastinya sangat menyukai musik klasik. Aku suka ikut teater musik, dan jujur.. Piagamku berisi juara 1 dan 2. Pementasan seperti itu terus terisi oleh Sarah, penonton setiaku. Dialah semangatku juga, bagaikan sebuah pensil warna yang bisa mewarnai segala hal.
Kringg…
Bel istirahat berbunyi, aku bersama Sarah ke kantin. Kedekatan kami hanya berstatus sahabat, mana mungkin orang membatin kalau aku adalah kekasihnya, menyebalkan!
Di kantin, aku dan Sarah hanya membeli minuman saja, tepatnya minuman nabati, he he.. Minuman dari buah-buahan.
“Ri, menurut lo Divan orangnya gimana sih? ‘Thought on’ Divan dong..” Aku kesal dengan ucapannya, jika saja aku Divan dan Divan itu aku.
“Sarah, gue bukan temennya kali! Satu sekolah aja enggak.” Balasku acuh, aku beralih menuju ponselku, hanya membuka aplikasi yang ada.
“Hm.. Bener juga. Oke deh, gue setuju.” Balasnya, kemudian satu sama lain kami memainkan ponsel.
1 menit berlalu, kulihat Sarah terus tersenyum melihat ponselnya, ada apa? Pikirku.. Divan!
“Fakhri, gue ke kamar mandi dulu ya, nitip!” Ucapnya tiba tiba, pipinya memerah menahan buang air, aku mengangguk.
Niat jahil merasukiku, aku mencoba memainkan ponsel Sarah. LED BlackBerry-nya terus berkedip, tanda ada suatu pesan. Sial! Memakai kata sandi, kucoba tanggal lahirnya, gagal! Namanya dengan Divan? Gagal! Kini tanggal jadiannya dengan Divan, Berhasil.
From : Divan (Work)
Oke, aku tunggu di depan gerbang sekolahmu.
Kulihat kembali SMS sebelumnya, ternyata Sarah akan dikenalkan oleh orang tua Divan. Sebab Sarah tersenyum kecil adalah adanya selingan candaan lewat SMS. Hubungan mereka seperti LDR.
Kulihat ke depan, Sarah semakin mendekat. Buru buru aku mengunci ponselnya, kemudian aku pura pura mengetuk ketuk meja makan ini dengan jari telunjuk dan tengah. Sarah tersenyum kearahku, kemudian ia memainkan ponselnya lagi.
“Sarah, gue duluan ya. Tadi katanya Arfin dicari sama pak Waluyo.” Ucapku, aku takut kepergok gara gara mengotak atik ponselnya, Sarah mengangguk.
Sepanjang jam pelajaran setelah istirahat tadi, Sarah hanya diam. Aku yakin, dia pasti sudah mengetahui itu. Aku merasa bersalah, baru pertama kali aku menguntit ponsel Sarah.
Bel pulang pun berbunyi. Di depan gerbang sekolah sudah ada Divan, dengan riang Sarah menghampiri Divan. Kini Sarah berbeda, seharusnya ia juga gembira denganku.
“Sarah..” Lirihku. Sebenarnya aku ragu untuk memanggilnya, maka dari itu dia hanya diam.
Kalian tahu? Di depan gerbang sekolah, Divan dikerumuni kaum hawa. Entahlah topik apa yang ada di pikiran sekaligus di lisan mereka, jelasnya Divan sudah terkenal juga di sekolah, terkenal dekat dengan murid murid sekolah.
Sesampainya di rumah, aku menaruh sepedaku di bagasi. Kemudian aku beralih ke kamar.
“Hehh…”
Rasa keluh terasa, ketika Sarah memiliki hubungan spesial dengan Divan. Mengingat kejadian tadi, darahku mendingin serasa diam membeku. Kulirik fotonya di meja belajarku, foto kami di masa masa MOPDB atau dikenal MOS (Masa Orientasi Siswa) waktu SMA ini. Kuambil album foto itu, baju kami masih putih biru, aku tertawa kecil mengingat tingkah dulu.
HARI INI, ESOK, DAN SETERUSNYA aku akan tetap mencintai, menyayangi dan menjaga peri kecilku itu. He he..
1 bulan berlalu begitu saja, angka angka tanggalan juga tertiup hingga berubah dengan lanjutannya. Hubungan persahabatanku dengan Sarah sedikit merenggang, namun ia sangat peduli dengan Divan. Kejadian aku menguntit ponselnya, ia sudah tahu dan memaafkanku.
Hari ini adalah ‘Anniversary’ mereka (Divan dan Sarah) yang ke 1 bulan. Aku diajak mereka makan makan, ya, sebagai pajak juga. Sedikit sesak nafasku melihat Divan dan Sarah sangat romantis. Aku hanya memakan makanan yang telah dipesan sambil mengalihkan pandangan.
“Sarah, aku sama Fakhri keluar sebentar ya. Biasa urusan cowok.” Ucap Divan kemudian mengedipkan matanya sebelah, aku heran dengan tingkahnya. Sarah mengangguk saja pula, aku masih dibuat Divan bingung.
Aku terus menyebut nama Divan, tapi Divan tak menghiraukanku. Ternyata, ia mengajakku duduk di tempat paling pojok di’restoran’ ini.
“Ngapain sih, Van?” Tanyaku. Divan mempersilahkanku duduk, dan sekarang kami berhadapan.
“Gue tau, lo suka kan sama Sarah?” Tanya Divan, aku terbelak, mataku membulat, bagaimana ia tahu?
“Suka? Maksud lo apa sih, ga jelas deh.” Alibiku, Divan tersenyum kecut.
“Gue tau, lo sayang kan sama Sarah? Lo cinta kan sama dia?” Tanyanya lagi, aku terdiam.
“Ngaku aja, gue ga bakal ngasih tau ke siapa siapa kok.” Lanjutnya, aku memulai angkat bicara.
“Dari mana lo tau?” Tanyaku.
“Dari mata lo, cara memandang Sarah itu beda, Ri. Kadang lo suka senyum senyum sendiri, kadang kalo gue sama Sarah lagi romantis romantisnya, lo keliatan cemburu.” Balas Divan. Ucapannya memang benar, tapi apa daya, dia sudah mengetahui semuanya.
“Kalo iya?” Tantangku, Divam kemudian menatap Sarah yang sedang memainkan ponsel.
“Coba lo bilang sama Sarah kalo lo sayang sama dia.” Tantangnya, sial! Aku terpaku.
“Gue terima!” Balasku, kemudian kami kembali ke Sarah.
“Kalian abis ngapain?” Tanya Sarah, Divan hanya menyeringai.
“Tadi gue mau beli burger tapi abis.” Balasku, Sarah mengangguk. Kami duduk di kursi masing masing, Divan menggerakkan kepalanya ke arah Sarah, dengan gugup aku menggenggam tangan Sarah.
“Duh, Fakhri..” Lirih Sarah, aku merasa bersalah, aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sarah menoleh ke arah Divan dengan rasa bersalah, Divan menggeleng.
“Ee.. Sarah. Gue sayang sama lo, semenjak lo mau berteman sama gue itu udah terasa kasih sayangnya.” Ucapku ragu, Sarah terbelak kemudian menatapku sinis.
“Tapi gue ga sayang sama lo!” Bantah Sarah, aku beranjak mengambil tasku.
“Oke, ga apa apa.” Balasku, aku ingin beranjak tetapi tertahan oleh Divan.
“Fakhri..” Lirihnya, aku menggeleng.
“Gue bakal jadi perusak hubungan kalian doang! Dan lo, Van, gue udah ragu ngungkapin semuanya, gue ga bisa terpaksa!” Ketusku, aku menepis tangan Divan dan berlari kecil.
Semenjak kejadian ini, aku mendiami Sarah, bukan Sarah. Tapi sepertinya Sarah juga ikutan mengikutiku.
“Fakhri, kamu mau kan ikut lomba di Austria? 3 hari lagi kamu akan ikut, semua pendaftaran sekolah yang mengurus.” Aku terkejut mendengar ucapan pak Waluyo, benarkah?
“Tapi apa ga terlalu mendadak, pak?” Tanyaku.
“Engga, lagi pula suara kamu bagus, persiapan kamu juga… Oke!” Balas pak Waluyo.
Keesokkan harinya, aku membereskan pakaianku. Aku menyetujui kata kata pak Waluyo, orangtuaku juga senang. Satu hal! Aku tidak memberitahukan kepada Sarah, sulit untuk bertatap muka dengannya. Lagipula, hubungan kami sudah sangat merenggang.
Aku masih berfikir keras, untuk memberitahukan pada Sarah atau tidak. Kuputuskan untuk… Ah! Tidak tidak, terlalu drama jika memberikan surat. Aku segera berangkat menuju bandara.
Di bandara, aku ditemani oleh kakak sepupuku, Bastian dan pak Waluyo beserta kepala sekolah pak Ikhsan.
“Semoga kamu juara ya, Ri.” Ucap pak Waluyo menepuk pelan bahuku, aku tersenyum.
“Lho pak? Kan bapak guru kesenian yang mendidik Fakhri seperti ini, pasti menang dong.” Alibi pak Ikhsan, kami pun tertawa.
“Jangan lupa belajar.” Ucap pak Ikhsan. Aku mengikuti E-Learning (belajar jarak jauh) yang kebetulan ada di sekolahku, aku mengangguk.
10 menit lagi aku akan menaiki pesawat, aku akan meninggalkan Jakarta dan juga… Huft! Aku menunduk, poniku menutupi wajahku.
“Fakhri…” Suara angin menyebut namaku, seperti Sarah berlirih. Aku mendongak, celingak celinguk mencari seseorang.
“Kenapa, Ri?” Tanya Erlangga, aku menyeringai.
“Ga apa apa, cuma laper aja. Mungkin ‘Snack Bar’ nya jauh, lagi pula 10 menit lagi take off.” Balasku, Erlangga mengangguk.
4 hari berlalu, aku menang dalam kompetisi itu. Aku menempati juara 1, mewakili negaraku Indonesia. Sore nanti aku akan kembali dengan kemenanganku, Erlangga siap menjeputku. Tunggu.. Aku larut dalam kemenanganku, dimana aku yang dulu selalu menyayangi Sarah? Aku yakin, kasih sayang ini akan setia menunggu.
“Ri, lo tau ga? Kemarin Sarah main kesini, nanyain elo. Gue bilang aja lo nya lagi di Austria, dan dia udah tau segalanya.” Cerita Erlangga, ketika aku sudah sampai di Indonesia dan dijemputnya.
“Ga mungkin!” Balasku, Erlangga tertawa geli.
“Yah, lo ga percaya. Mungkin besok lo bakal ditanya sama Sarah.” Erlangga meyakiniku, aku tersenyum saja.
Keesokkan harinya, aku melihat Sarah diantar oleh Divan. Semakin hari mereka semakin sayang, aku jadi iri. Aku berjalan melalui mereka, mataku melirik mereka, berharap mereka menyapaku. Sial! Harapan itu sia sia, aku berlari dengan hati kesal.
“Fakhri, apa kabar? Denger denger lo juara ya? Selamat!!” Tanya temanku Ricko, grup basket di sekolah.
“Thanks! Ini semua berkat support kalian kok..” Balasku.
“Kita selalu berdoa untuk kebaikan teman! Ya, engga?” Balas Arfin merangkulku.
“Pasti!”
Di kelas, Sarah tersenyum senyum. Aku mulai merasa jika dia senang kalau aku ada di sisinya, aku memulai menyapanya, dari tadi aku belum menyapanya.
“Sarah, lo kenapa?” Tanyaku polos, Sarah tersenyum.
“Ga apa apa, Divan itu lho lucu. Masa dia nge…” Kesal dengan ucapannya, aku memotongnya dengan mengalihkan pandanganku dan berkata “Oh!”
Mungkin Sarah kesal dengan pemotonganku, aku juga merasa kesal, dan begini lebih baik.
Sore hari…
Aku menaiki sepedaku, kebetulan aku ingin ke rumah Sarah. Aku membawa cindera mata untuknya dari Austria, sebuah boneka berwarna ungu untuknya, sudah kupesan dan disitu juga ada namanya.
BRUK!!!
Kulihat ada sebuah kejadian tragis, seorang gadis terlontar bermil mil dari swalayan kecil. Aku mencoba melihat, sesekali menolong kan ibadah. Disana sudah ramai orang orang, kupercepat jalanku sambil menuntun sepedaku yang memotong jalan melewati trotoar, he he..
Aku terbelak, disana seorang gadis cantik sudah dilumuri darah, yang menabraknya adalah kekasihnya sendiri. Divan menabrak Sarah, TUHAN!
“SARAH!” Aku berteriak menyebut nama Sarah, kuhempas begitu saja sepedaku, tak peduli rusak atau lainnya.
“Tolong bawa masuk mobil saya,” Ucap Divan, dia sudah menangis sedu dari tadi. Aku sangat geram padanya, tanganku mengepal hingga urat urat terlihat jelas.
“Divan… Lo udah buat celaka Sarah!! Lo mau buat apa lagi sama dia?! Gue udah percaya sama lo, tapi lo malah ngebuat dia begini!!” Bentakku, Divan menggeleng.
“Engga, gue ga sengaja. Gue ngantuk banget, mata gue burem…” Aku segera memotong ucapannya.
“Gue benci sama lo! Lo ga bisa dipercaya!” Aku segera menaiki sepedaku, Divan segera menaiki mobilnya. Kuikuti mobil Divan dari belakang, mengayuh pedal dengan kuat agar tidak tertinggal.
Sesampainya di rumah sakit, dokter segera menangani Sarah. Aku percaya, semoga Tuhan memberi kebaikan untuknya.
Dokter pun keluar aku dan pria bajingan itu menghampiri dokter, kutanya keadaan Sarah. Dokter tidak meyakinkan, dia hanya diam saja.
“Bagaimana dok?”
“Kritis”
Mendengar 1 kata itu hatiku terasa teriris, aku menatap Divan tajam. Ingin rasanya aku membunuhnya, Divan terus menunduk. Kuraih leher kaosnya, kucengkram kuat kuat.
BUGH!
BUGH!
Kupukul ia dua kali, ia hanya mengerang kesakitan.
“Sakitan mana sama hati gue dan Sarah saat ini?!” Aku sangat kesal, Divan telah membuat Sarah di antara hidup dan mati. Divan hanya diam, matanya mengerjap seperti menahan tangis.
“Gue ga rela kalo Sarah lo sakitin!!” Lanjutku, nafasku sudah memburu, wajahku sedikit memerah. Divan melepaskan tanganku, ia langsung masuk ke dalam ruangan Sarah. Aku mengikutinya.
“Sarah..” Lirih Divan, Sarah masih dalam terpejam. Tangan Divan menggenggam jemari lentik Sarah, menempelkannya pada luka bekas pukulanku.
“Bangun.. Aku ga bermaksud!” Divan tak kuat menahan tangisnya, ia menangis sekuat tenaganya.
Tak lama, sayu sayu Sarah membuka matanya, mengerjap ngerjap matanya untuk memperjelas.
“Divan…? Fakhri…?” Suaranya sangat lemah, bibir mungilnya hanya membuka 1 cm.
“Muka kamu?” Tanya Sarah mengelus luka di wajah Divan, Divan tersenyum pedih.
“Ga apa apa. Sarah, aku ga sengaja untuk menabrak kamu.” Balas Divan menunduk, kulihat Sarah tersenyum.
“Fakhri…” Panggilnya, sedari tadi aku hanya berdiri jauh dari mereka. Aku mendekati Sarah, yang sekarang ada dikirinya.
”Aku tahu, kamu sayang sama aku. Selamat ya kamu menang lomba, semoga kamu terus menang ya. Fakhri, satu hal! Jangan memarahi Divan. Aku tahu, kamu selalu ingin yang terbaik untuk aku, setiap orang yang menyakiti aku, kamu selalu membela aku dengan cara apapun.” Ucapnya menggenggam erat tanganku, aku hampir lupa.
“Ini, gue beli ini Sarah. Gue ga lupa sama lo, gue selalu ingat yang lo suka.” Ucapku mengeluarkan boneka berukuran sedang, kutaruh di sisi kiri kepalanya.
“Makasih, Ri. Aku rasa, kali ini cukup aku hidup bahagia bersama kalian. Sekarang aku mulai lelah tertawa bersama kalian, bersenang senang bersama kalian.” Balasnya, aku terbelak. Aku dan Divan terus memanggil namanya, tapi semua takdir, Sarah harus pergi.
“Sarah!!!”
12 tahun kemudian…
Kubuka lembaran albun fotoku bersama Sarah, aku merindukan masa masa SMA ku. Kini aku sudah berumah tangga, istriku bernama Ranti. Ranti sudah tahu tentang masa lalu ku, kami bertemu di waktu masih kuliah. Agar aku selalu ingat Sarah, kuselip namanya di nama putriku yang berumur 10 tahun. Bagi Ranti itu tidak masalah, ia menganggap juga Sarah sahabat matinya sekarang. Aku sering mengunjungi makamnya, kadang aku bertemu Divan bersama seorang wanita yang mungkin istrinya.
Aku sudah memaafkan Divan, kini masing masing hidup bahagia. Aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, cinta hanya butuh ketulusan, dimana kita masih mencintainya yang harus memperjuangkan. Sarah, kamu cinta pertamaku, HARI INI, ESOK, DAN SETERUSNYA!
“Cinta ga harus dimiliki, cinta hanya butuh ketulusan. Dimana kita masih mencintainya dan harus memperjuangkan walau lubang kecil menjebak.” -Divan (Today, Tomorrow, and Forever)
“Aku mencintaimu, sampai si bisu berbicara kepada si tuli bahwa si buta melihat si lumpuh berjalan. Dan sampai aku benar benar tak berguna.” -Fakhri (Today, Tomorrow, and Forever)
“Sepertinya harus bisa membedakan mana kasih sayang sebagai kekasih dan kasih sayang sebagai sahabat.” -Sarah (Today, Tomorrow, and Forever)
Maaf kalo ada yang typo, :D nama tokoh sebenarnya ga gini sih. Hehe..
Cerpen Karangan: Feby Maryana
Facebook: http://facebook.com/Feby.Maryana.9

Cerpen- Dibalik Sapu Tangan Biru

Bulan Juli tahun 2011 Asty berangkat ke Yogyakarta guna untuk melanjutkan kuliah S1. Tiba disana dia disambut hangat oleh sahabatnya Yuni yang juga kuliah s1. Walau berasal dari kota yang jauh yaitu kota Ambon, Asty tidak pernah merasa kesepian, karena dia masih menganggap Yuni sebagai keluarganya sendiri. Bahkan bukan hanya Yuni yang belajar di Jogja, akan tetapi beberapa teman SMAnya dulu juga demikian. Ada Afdal, Nani, Ida, Andi, Anto dan Ide.
Hari kedua Asty diajak Yuni bermalam ke kost nya. Hm.. mereka menghabiskan pertemuan dengan bercanda, cerita masa-masa SMA, serta pengalaman tiba di Jogja dll. Hingga Yuni membuat keputusan untuk bisa bertemu dengan teman-teman yang ada di Jogja. Di sms lah Afdal, Anto, nani, Andi, Ide, dan Ida. Hanya saja yang bisa hadir Anto dan Afdal. Sedangkan Nani, Andi, Ida, dan Ide mereka gak hadir. Asty dan Yuni membuat janji dengan mereka untuk bertemu di Malioboro jam 10 pagi. Bagi Asty inilah pertemuan yang sudah ditunggu-tunggu satu tahun yang lalu. Bahkan sampai malam tiba Asty masih tetap terjaga dalam tidurnya.
Adzan berkumandang dari sebelah kost Yuni.
“Kamu mau kemana?” tanya Yuni pada Asty dengan matanya yang masih sayup.
“Aku mau ke belakang sebentar. Bersih-bersih dan berwudhu.” Jawab Asty dengan wajah yang juga menunjukkan keadaan ngantuk.
“Allahu Akbar…” terdengar suara lembut dan halus yang keluar dari bibir Asty. Yang walaupun hanya terdengan pelan, tapi karena suasana waktu itu sangat adem dan tenang, seakan kencang dengarnya.
“suara apa itu!” bisik Asty dalam hati.
“Yuni! kok aku mendengar suara Iqomah, ini kan masih jam 4 kurang lima menit!.”
“Emangnya tadi kamu sholat apa Asty?” Yuni malah balik bertanya.
“Tahajjud!”
“ya ampun, Asty… Asty…, tadi itu adzan Shubuh. Ini bukan Ambon lagi yang adzan shubuhnya jam 5! Hahaha.”
Mendengar hal tersebut Asty malah ketawa dan merasa malu sendiri. Akhirnya mereka berdua ketawa sedikit terbahAk-bahak. Sampai-sampai tetangga kamar kost Yuni ada yang terbangun.
“hm.. pantas saja kamu malah enakkan tidur! Apalagi karena kamu lagi gak sholat”
Asty jadi agak sebel.
Pagi yang cerah terlihat begitu jelas ketika burung-burung beterbangan di angkasa. Daun-daun yang begitu indah terlihat dari keelokan warna hijaunnya. Tiba saatnya pemberangkatan menuju tempat perjanjian Asty, Yuni dengan Afdal serta Ris. Karena Yuni tidak memiliki kendaraan pribadi, maka mereka mau tidak mau harus naik bus. Manakala saat bus tersebut berjalan, Asty tidak menyangka jalannya yang lambat, penuh sesak para penumpang. Sampai-sampai ada yang berdiri. Untung saja Asty dan Yuni masih bisa dapat tempat duduk. Melihat keadaan dalam bus seperti itu, Yuni hampir tak tahan ketawanya manakala melihat wajah Asty yang agak cemberut.
“As, wajahmu tu senyum sedikit kenapa!”
“emangnya ada apa dengan wajahku Yuni?”
Asty malah balik bertanya.
“Kamu gak sadar, dari tadi tu wajahmu cemberut melulu,” sambil ketawa Yuni mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah seorang Ibu yang berada tidak jauh dari tempat duduk mereka berdua.
“Lihat Ibu yang itu. Beliau walaupun tidak dapat tempat duduk, masih sempatkan diri untuk bisa tersenyum. Kamu yang sudah mendapat tempat duduk malah cemberut gitu. Ini bukan Ambon lagi, Sekarang ini, saatnya kita untuk berjuang melawan keras maupun senanngnya hidup yang ada di kota perantuan ini.”
Mendengar penjelasan dari Yuni seakan Asty baru diingatin kembali menganai tujuannya untuk datang ke kota Jogja.
“iya Yun, kamu benar. Seharusnya aku bersabar.”
“ok. Sekarnag bersiaplah kita sudah mau nyampe!”
Setelah turun dari bus, dari arah jauh Yuni dan Asty melihat di depan malioboro sosok seorang pria yang dikenal.
Segera Asty mempersiapkan aksinya.
“ayo kita jalan keseberang sana.” Ajak Yuni saat menunjuk ke arah Anto.
“bentar Yun,” tak salah lagi Asty menyiapkan sarung tangannya berwarna biru dan ditutupi di wajahnya. Seperti masker yang biasa dipakai orang.
Asty sengaja tidak menampakkan wajahnya. Bahkan dia sengaja agar Anto tidak tahu kalau dialah yang di ajak Yuni.
“Hai… Anto!” sapa Yuni yang saat itu mengagetkan Anto.
“Hai kamu, Yuni. Wa… sudah lama kita berada di jogja tapi belum pernah ketemu,”
“iya, kamu ni ya gak pernah ada kabarnya. Untung semalam aku sempat sms untuk bertemu!. Ngomong-ngomong Afdal kemana ya?”
“iya tu belum datang.”
Sambil asyik ngobrol dan mereka pun duduk di bawah pohon rindang.
“ini temanmu?” tanya Anto kepada Yuni yang seketika itu membuat Asty kaget.
“oh iya ma’af aku lupa memperkenalkannya padamu. Ini temanku Shinta.” Betapa kagetnya Asty saat memperkenalkan dirinya. Akan tetapi dia tidak mengeluarkan suara. Dengan pandangan yang aneh Anto terus memandang Asty dari arah sebelah duduknya Yuni. Asty pun demikian. Tanpa tak dipikirkan saat pandangan mereka saling bertemu. Di balik wajah Asty yang tertutup sapu tangan itu, membuat Anto jadi penasaran. Sehingga dalam hati Anto berkata dan merasakan hal yang aneh pada mata gadis yang berada di samping temannya Yuni. Hal demikian pun terjadi pada perasaan Asty. Kini Asty benar-benar merasakan cinta masa lalunya datang kembali setelah berpisah selama satu tahun.
Kali ini suasana mulai mencair dari sebelumnya yang terasa canggung. Yuni mulai mengangkat suara.
“Hm, ngomong-ngomong gimana kuliahmu Anto?.”
“Alhamdulillah baik. Kamu?”
“Alhamdulillah juga baik.”
“Temanmu mau masuk kuliah dimana?” tanya Anto yang sedikit melihat ke arah Asty yang saat itu dipanggil Shinta sebagai nama rahasianya.
“Dia mau masuk kuliah di UGM,”
“hm… kalau boleh tahu jurusannya apa?”
Spontan saat ditanya jurusan Yuni lupa menanyakan jurusan Asty saat pertama kali Asty nyampe di Jogja. Tak sengaja Yuni langsung berkata jurusan manejemen Asty pun mengangkat suara
“Bukan. Akuntansi!”
Saat itu juga Yuni kaget dan sempat menegur asty agar cepat berhenti berbicara. Kali ini Yuni dan Asty benar-benar mengerjain Anto. Yuni akan membuat kejutan kepada Anto bahwa yang dia bawa sekarang ini adalah Asty, gadis yang selama ini dirindukan Anto. Tak heran Anto mulai kaget saat suara Shinta (dalam hal ini Asty) terdengar. Anto mulai berpikir.
“Sepertinya suara ini aku kenal!”
Tanpa terpikir lagi dan tak mau terus-menerus bersembunyai di balik sapu tangan biru itu, Asty segera melepaskannya. Dan…
“Iya kamu benar, suara ini adalah suara orang yang kamu kenal”
Sungguh betapa kagetnya Anto saat melihat orang yang berada di depannya adalah Asty teman SMAnya dulu. Yuni pun ketawa terbahak-bahak saat melihat wajah Anto yang begitu kagetnya. Akhirnya Asty pun ikut ketawa. Tak lama kemudian Afdal datang dari arah kanan jalan. Dan mereka berempat saling bercerita dan jalan-jalan di sekitar malioboro. Suasana terasa sangat bahagia bagi Asty saat bertemu kembali dengan teman-teman
Cerpen Karangan: Astuti Wally
Facebook: Asty Wally

Contoh Soal UAS IX SMP



DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMP NEGERI 3 LAWANGULANGAN SEMESTER GENAP
TAHUN PELAJARAN 2007/2008
Mata Pelajaran KertakesKelas IX (Sembilan)Hari, tanggal Selasa, 11 Maret 2008Waktu 60 menit
Pilihlah jawaban yang paling tepat!
1.
 
Pernyataan di bawah ini adalah tujuan mempelajari seni, kecuali....a. Untuk menambah pengetahuan/ wawasan seni c. Untuk menambah kepekaan terhadap senib. Dapat mengetahui sesuatu yang indah d. Agar terampil dan kreatif 2.
 
Pengertian seni adalah....a. Sesuatu yang dikatakan indah c. Hasil karya yang dapat menyentuh perasaanb. Hasil karya seniman yang baik d. Sesuatu yang sifatnya alami3.
 
Manusia membutuhkan seni sebagai sarana....a. Memperoleh keuntungan c. Pelengkap kebutuhan hidupb. Pemuasan ekspresi d. Pemuasan kebutuhan fisik 4.
 
Penyampaian karya seniman media visual disebut...a. Seni rupa b. Seni gerak c. Seni sastra d. Seni suaran5.
 
Menggambar adalah kegiatan yang melipatkan emosional.....a. Ilustrasi b. Pasif c. Dinamis d. Kreatif 6.
 
Keindahan secara umum bersifat...a. Dinamis b. Statis c. Obyektif d. Subyektif 7.
 
Pernyataan di bawah ini merupakan pengertian karya seni yang menitik beratkan pada nilai guna, kecuali...a. Seni guna b. Seni terapan c. Seni karya d. Seni pakai8.
 
Pernyataan di bawah ini merupakan prinsip seni murni, kecuali....a. Mengutamakan nilai keindahan c. Merupakan ungkapan emosional yang kreatif b. Bentuk karyanya eliminasi d. Dimanfaatkan sebagai benda hias9.
 
Bentuk simetris suatu karya seni memberikan kesan....a. Elastis b. Statis c. Dinamis d. Kreatif 10.
 
Dalam mengamati dan menilai suatu karya seni dibutuhkan...a. Biaya, pikiran, tenaga c. Ketrampilan, tenaga, modalb. Perasaan, tenagam biaya d. Kecermatan, ketelitian, ketepatan11.
 
Nama lain dari pengamat karya seni adalah....a. Konsumen b. Produsen c. Seniman d. Apresiator12.
 
Kegiatan mengamati, menilai, dan menghayati karya seni disebut....a. Hakekat seni b. Prinsip seni c. Apresiasi seni d. Kreatifitas seni13.
 
Pernyataan di bawah ini merupakan pengaruh berkembangnya karya seni, kecuali....a. Imajinasi/ ide b. Keadaan sosial c. Budaya d. Zaman14.
 
Kebudayaan / kesenian tiap daerah berbeda, hal ini dikarenakan....a. Adat istiadat b. Kondisi sosial c. Pengaruh lingkungan d. Keseniannya berbeda15.
 
Untuk memuja roh nenek moyang/ dewa merupakan fungsi dari tema....a. Tema religius b. Tema primitif c. Tema tradisional d. Tema simbolik 
PETUNJUK UMUM:
1.
 
Tulis nama, kelas, nomor peserta, Anda pada lembar jawab.2.
 
Arsirlah atau hitamkan huruf A, B, C, dan D yang menurut Anda merupakan jawaban yang paling tepat.3.
 
Gunakan pensil 2B, dan penghapus karet yang baik.4.
 
Apabila ingin mengganti jawaban hapuslah jawaban tersebut dengan karet penghapus dan arsir/ hitamkan jawaban yang benar.