Senin, 29 September 2014

Cerpen- Hari ini, Esok, Dan Seterusnya

Aku bersembunyi di semak semak, ingin memata matai 2 insan yang telah menyakiti hatiku. Kulihat mereka tengah bercanda tawa dengan gembiranya, wanita yang kucintai bersama pria yang ku benci. Kini mereka beranjak dari taman sekolah, tempat dimana grup sekolahku dan sekolahnya pria itu bertanding basket.
Apa aku salah mencintai orang? Tapi aku yakin, dia yang terbaik untukku. Jika tidak, mengapa Tuhan mempertemukan kami? Ku ikuti lagi gerak gerik mereka, dan sekarang sepertinya Sarah dan Divan menuju loker, mungkin Divan akan ganti baju. 5 menit kemudian Divan kembali, dan kini mereka beranjak dari bangku itu.
“Ayo, sayang.” Ajak Divan, sekilas aku terkejut ketika Divan memanggil Sarah dengan sebutan kata ‘Sayang’.
“Permainan kamu bagus lho, walau gak menang tapi kamu gak pernah curang.” Puji Sarah, seharusnya disana itu aku, dan Sarah akan berkata, “Permainan kamu bagus lho, selamat ya kamu menang.”
“Makasih, abis ini kita kemana?” Tanya Divan, Sarah berfikir.
“Udah deh. Besok kan sekolah, banyak PR lagi.” Balas Sarah, Divan menyeringai.
“Oke deh,” Balasnya, mereka berlalu begitu saja tanpa bersuara.
“Ri, lo tau ga? Kemarin Divan nembak gue.. Setelah 1 minggu yang lalu bertemu.” Aku sudah menduga, sahabatku yang cantik itu akan bercerita padaku.
“Gue udah tau kok, longlast ya..” Balasku parau, Sarah menyeritkan alisnya.
“Fakhri, lo ga setuju ya sama hubungan gue?” Sarah melemas, ia tahu kalau disaat dia bahagia pasti aku tidak seperti ini.
“Gue? Setuju aja kok, asal Divannya baik sama lo dan buat lo seneng.” Balasku, Sarah tersenyum.
“Thanks ya.” Balasnya menepuk bahuku, aku mengangguk tersenyum.
Kulirik arlojiku menunjukkan pukul 06.45, artinya 5 menit lagi akan bel masuk. Aku dan Sarah duduk sebangku, dulu aku dikenal paling menjijikan. Semenjak ada Sarah yang merubahku, aku memiliki banyak teman. Aku merasa Sarah malaikat, dan dia satu satunya orang yang mau sahabatan denganku. Dari situ aku mulai menaruh hati padanya.
Sekarang, aku merasa tidak pantas untuk mendapatkannya, apalagi Divan itu kapten basket yang juga terkenal di sekolahku, aku merasa kalah dengan Divan. Shh.. Selebihnya kuungkapkan pada dunia musikku, aku menyukai musik, pastinya sangat menyukai musik klasik. Aku suka ikut teater musik, dan jujur.. Piagamku berisi juara 1 dan 2. Pementasan seperti itu terus terisi oleh Sarah, penonton setiaku. Dialah semangatku juga, bagaikan sebuah pensil warna yang bisa mewarnai segala hal.
Kringg…
Bel istirahat berbunyi, aku bersama Sarah ke kantin. Kedekatan kami hanya berstatus sahabat, mana mungkin orang membatin kalau aku adalah kekasihnya, menyebalkan!
Di kantin, aku dan Sarah hanya membeli minuman saja, tepatnya minuman nabati, he he.. Minuman dari buah-buahan.
“Ri, menurut lo Divan orangnya gimana sih? ‘Thought on’ Divan dong..” Aku kesal dengan ucapannya, jika saja aku Divan dan Divan itu aku.
“Sarah, gue bukan temennya kali! Satu sekolah aja enggak.” Balasku acuh, aku beralih menuju ponselku, hanya membuka aplikasi yang ada.
“Hm.. Bener juga. Oke deh, gue setuju.” Balasnya, kemudian satu sama lain kami memainkan ponsel.
1 menit berlalu, kulihat Sarah terus tersenyum melihat ponselnya, ada apa? Pikirku.. Divan!
“Fakhri, gue ke kamar mandi dulu ya, nitip!” Ucapnya tiba tiba, pipinya memerah menahan buang air, aku mengangguk.
Niat jahil merasukiku, aku mencoba memainkan ponsel Sarah. LED BlackBerry-nya terus berkedip, tanda ada suatu pesan. Sial! Memakai kata sandi, kucoba tanggal lahirnya, gagal! Namanya dengan Divan? Gagal! Kini tanggal jadiannya dengan Divan, Berhasil.
From : Divan (Work)
Oke, aku tunggu di depan gerbang sekolahmu.
Kulihat kembali SMS sebelumnya, ternyata Sarah akan dikenalkan oleh orang tua Divan. Sebab Sarah tersenyum kecil adalah adanya selingan candaan lewat SMS. Hubungan mereka seperti LDR.
Kulihat ke depan, Sarah semakin mendekat. Buru buru aku mengunci ponselnya, kemudian aku pura pura mengetuk ketuk meja makan ini dengan jari telunjuk dan tengah. Sarah tersenyum kearahku, kemudian ia memainkan ponselnya lagi.
“Sarah, gue duluan ya. Tadi katanya Arfin dicari sama pak Waluyo.” Ucapku, aku takut kepergok gara gara mengotak atik ponselnya, Sarah mengangguk.
Sepanjang jam pelajaran setelah istirahat tadi, Sarah hanya diam. Aku yakin, dia pasti sudah mengetahui itu. Aku merasa bersalah, baru pertama kali aku menguntit ponsel Sarah.
Bel pulang pun berbunyi. Di depan gerbang sekolah sudah ada Divan, dengan riang Sarah menghampiri Divan. Kini Sarah berbeda, seharusnya ia juga gembira denganku.
“Sarah..” Lirihku. Sebenarnya aku ragu untuk memanggilnya, maka dari itu dia hanya diam.
Kalian tahu? Di depan gerbang sekolah, Divan dikerumuni kaum hawa. Entahlah topik apa yang ada di pikiran sekaligus di lisan mereka, jelasnya Divan sudah terkenal juga di sekolah, terkenal dekat dengan murid murid sekolah.
Sesampainya di rumah, aku menaruh sepedaku di bagasi. Kemudian aku beralih ke kamar.
“Hehh…”
Rasa keluh terasa, ketika Sarah memiliki hubungan spesial dengan Divan. Mengingat kejadian tadi, darahku mendingin serasa diam membeku. Kulirik fotonya di meja belajarku, foto kami di masa masa MOPDB atau dikenal MOS (Masa Orientasi Siswa) waktu SMA ini. Kuambil album foto itu, baju kami masih putih biru, aku tertawa kecil mengingat tingkah dulu.
HARI INI, ESOK, DAN SETERUSNYA aku akan tetap mencintai, menyayangi dan menjaga peri kecilku itu. He he..
1 bulan berlalu begitu saja, angka angka tanggalan juga tertiup hingga berubah dengan lanjutannya. Hubungan persahabatanku dengan Sarah sedikit merenggang, namun ia sangat peduli dengan Divan. Kejadian aku menguntit ponselnya, ia sudah tahu dan memaafkanku.
Hari ini adalah ‘Anniversary’ mereka (Divan dan Sarah) yang ke 1 bulan. Aku diajak mereka makan makan, ya, sebagai pajak juga. Sedikit sesak nafasku melihat Divan dan Sarah sangat romantis. Aku hanya memakan makanan yang telah dipesan sambil mengalihkan pandangan.
“Sarah, aku sama Fakhri keluar sebentar ya. Biasa urusan cowok.” Ucap Divan kemudian mengedipkan matanya sebelah, aku heran dengan tingkahnya. Sarah mengangguk saja pula, aku masih dibuat Divan bingung.
Aku terus menyebut nama Divan, tapi Divan tak menghiraukanku. Ternyata, ia mengajakku duduk di tempat paling pojok di’restoran’ ini.
“Ngapain sih, Van?” Tanyaku. Divan mempersilahkanku duduk, dan sekarang kami berhadapan.
“Gue tau, lo suka kan sama Sarah?” Tanya Divan, aku terbelak, mataku membulat, bagaimana ia tahu?
“Suka? Maksud lo apa sih, ga jelas deh.” Alibiku, Divan tersenyum kecut.
“Gue tau, lo sayang kan sama Sarah? Lo cinta kan sama dia?” Tanyanya lagi, aku terdiam.
“Ngaku aja, gue ga bakal ngasih tau ke siapa siapa kok.” Lanjutnya, aku memulai angkat bicara.
“Dari mana lo tau?” Tanyaku.
“Dari mata lo, cara memandang Sarah itu beda, Ri. Kadang lo suka senyum senyum sendiri, kadang kalo gue sama Sarah lagi romantis romantisnya, lo keliatan cemburu.” Balas Divan. Ucapannya memang benar, tapi apa daya, dia sudah mengetahui semuanya.
“Kalo iya?” Tantangku, Divam kemudian menatap Sarah yang sedang memainkan ponsel.
“Coba lo bilang sama Sarah kalo lo sayang sama dia.” Tantangnya, sial! Aku terpaku.
“Gue terima!” Balasku, kemudian kami kembali ke Sarah.
“Kalian abis ngapain?” Tanya Sarah, Divan hanya menyeringai.
“Tadi gue mau beli burger tapi abis.” Balasku, Sarah mengangguk. Kami duduk di kursi masing masing, Divan menggerakkan kepalanya ke arah Sarah, dengan gugup aku menggenggam tangan Sarah.
“Duh, Fakhri..” Lirih Sarah, aku merasa bersalah, aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sarah menoleh ke arah Divan dengan rasa bersalah, Divan menggeleng.
“Ee.. Sarah. Gue sayang sama lo, semenjak lo mau berteman sama gue itu udah terasa kasih sayangnya.” Ucapku ragu, Sarah terbelak kemudian menatapku sinis.
“Tapi gue ga sayang sama lo!” Bantah Sarah, aku beranjak mengambil tasku.
“Oke, ga apa apa.” Balasku, aku ingin beranjak tetapi tertahan oleh Divan.
“Fakhri..” Lirihnya, aku menggeleng.
“Gue bakal jadi perusak hubungan kalian doang! Dan lo, Van, gue udah ragu ngungkapin semuanya, gue ga bisa terpaksa!” Ketusku, aku menepis tangan Divan dan berlari kecil.
Semenjak kejadian ini, aku mendiami Sarah, bukan Sarah. Tapi sepertinya Sarah juga ikutan mengikutiku.
“Fakhri, kamu mau kan ikut lomba di Austria? 3 hari lagi kamu akan ikut, semua pendaftaran sekolah yang mengurus.” Aku terkejut mendengar ucapan pak Waluyo, benarkah?
“Tapi apa ga terlalu mendadak, pak?” Tanyaku.
“Engga, lagi pula suara kamu bagus, persiapan kamu juga… Oke!” Balas pak Waluyo.
Keesokkan harinya, aku membereskan pakaianku. Aku menyetujui kata kata pak Waluyo, orangtuaku juga senang. Satu hal! Aku tidak memberitahukan kepada Sarah, sulit untuk bertatap muka dengannya. Lagipula, hubungan kami sudah sangat merenggang.
Aku masih berfikir keras, untuk memberitahukan pada Sarah atau tidak. Kuputuskan untuk… Ah! Tidak tidak, terlalu drama jika memberikan surat. Aku segera berangkat menuju bandara.
Di bandara, aku ditemani oleh kakak sepupuku, Bastian dan pak Waluyo beserta kepala sekolah pak Ikhsan.
“Semoga kamu juara ya, Ri.” Ucap pak Waluyo menepuk pelan bahuku, aku tersenyum.
“Lho pak? Kan bapak guru kesenian yang mendidik Fakhri seperti ini, pasti menang dong.” Alibi pak Ikhsan, kami pun tertawa.
“Jangan lupa belajar.” Ucap pak Ikhsan. Aku mengikuti E-Learning (belajar jarak jauh) yang kebetulan ada di sekolahku, aku mengangguk.
10 menit lagi aku akan menaiki pesawat, aku akan meninggalkan Jakarta dan juga… Huft! Aku menunduk, poniku menutupi wajahku.
“Fakhri…” Suara angin menyebut namaku, seperti Sarah berlirih. Aku mendongak, celingak celinguk mencari seseorang.
“Kenapa, Ri?” Tanya Erlangga, aku menyeringai.
“Ga apa apa, cuma laper aja. Mungkin ‘Snack Bar’ nya jauh, lagi pula 10 menit lagi take off.” Balasku, Erlangga mengangguk.
4 hari berlalu, aku menang dalam kompetisi itu. Aku menempati juara 1, mewakili negaraku Indonesia. Sore nanti aku akan kembali dengan kemenanganku, Erlangga siap menjeputku. Tunggu.. Aku larut dalam kemenanganku, dimana aku yang dulu selalu menyayangi Sarah? Aku yakin, kasih sayang ini akan setia menunggu.
“Ri, lo tau ga? Kemarin Sarah main kesini, nanyain elo. Gue bilang aja lo nya lagi di Austria, dan dia udah tau segalanya.” Cerita Erlangga, ketika aku sudah sampai di Indonesia dan dijemputnya.
“Ga mungkin!” Balasku, Erlangga tertawa geli.
“Yah, lo ga percaya. Mungkin besok lo bakal ditanya sama Sarah.” Erlangga meyakiniku, aku tersenyum saja.
Keesokkan harinya, aku melihat Sarah diantar oleh Divan. Semakin hari mereka semakin sayang, aku jadi iri. Aku berjalan melalui mereka, mataku melirik mereka, berharap mereka menyapaku. Sial! Harapan itu sia sia, aku berlari dengan hati kesal.
“Fakhri, apa kabar? Denger denger lo juara ya? Selamat!!” Tanya temanku Ricko, grup basket di sekolah.
“Thanks! Ini semua berkat support kalian kok..” Balasku.
“Kita selalu berdoa untuk kebaikan teman! Ya, engga?” Balas Arfin merangkulku.
“Pasti!”
Di kelas, Sarah tersenyum senyum. Aku mulai merasa jika dia senang kalau aku ada di sisinya, aku memulai menyapanya, dari tadi aku belum menyapanya.
“Sarah, lo kenapa?” Tanyaku polos, Sarah tersenyum.
“Ga apa apa, Divan itu lho lucu. Masa dia nge…” Kesal dengan ucapannya, aku memotongnya dengan mengalihkan pandanganku dan berkata “Oh!”
Mungkin Sarah kesal dengan pemotonganku, aku juga merasa kesal, dan begini lebih baik.
Sore hari…
Aku menaiki sepedaku, kebetulan aku ingin ke rumah Sarah. Aku membawa cindera mata untuknya dari Austria, sebuah boneka berwarna ungu untuknya, sudah kupesan dan disitu juga ada namanya.
BRUK!!!
Kulihat ada sebuah kejadian tragis, seorang gadis terlontar bermil mil dari swalayan kecil. Aku mencoba melihat, sesekali menolong kan ibadah. Disana sudah ramai orang orang, kupercepat jalanku sambil menuntun sepedaku yang memotong jalan melewati trotoar, he he..
Aku terbelak, disana seorang gadis cantik sudah dilumuri darah, yang menabraknya adalah kekasihnya sendiri. Divan menabrak Sarah, TUHAN!
“SARAH!” Aku berteriak menyebut nama Sarah, kuhempas begitu saja sepedaku, tak peduli rusak atau lainnya.
“Tolong bawa masuk mobil saya,” Ucap Divan, dia sudah menangis sedu dari tadi. Aku sangat geram padanya, tanganku mengepal hingga urat urat terlihat jelas.
“Divan… Lo udah buat celaka Sarah!! Lo mau buat apa lagi sama dia?! Gue udah percaya sama lo, tapi lo malah ngebuat dia begini!!” Bentakku, Divan menggeleng.
“Engga, gue ga sengaja. Gue ngantuk banget, mata gue burem…” Aku segera memotong ucapannya.
“Gue benci sama lo! Lo ga bisa dipercaya!” Aku segera menaiki sepedaku, Divan segera menaiki mobilnya. Kuikuti mobil Divan dari belakang, mengayuh pedal dengan kuat agar tidak tertinggal.
Sesampainya di rumah sakit, dokter segera menangani Sarah. Aku percaya, semoga Tuhan memberi kebaikan untuknya.
Dokter pun keluar aku dan pria bajingan itu menghampiri dokter, kutanya keadaan Sarah. Dokter tidak meyakinkan, dia hanya diam saja.
“Bagaimana dok?”
“Kritis”
Mendengar 1 kata itu hatiku terasa teriris, aku menatap Divan tajam. Ingin rasanya aku membunuhnya, Divan terus menunduk. Kuraih leher kaosnya, kucengkram kuat kuat.
BUGH!
BUGH!
Kupukul ia dua kali, ia hanya mengerang kesakitan.
“Sakitan mana sama hati gue dan Sarah saat ini?!” Aku sangat kesal, Divan telah membuat Sarah di antara hidup dan mati. Divan hanya diam, matanya mengerjap seperti menahan tangis.
“Gue ga rela kalo Sarah lo sakitin!!” Lanjutku, nafasku sudah memburu, wajahku sedikit memerah. Divan melepaskan tanganku, ia langsung masuk ke dalam ruangan Sarah. Aku mengikutinya.
“Sarah..” Lirih Divan, Sarah masih dalam terpejam. Tangan Divan menggenggam jemari lentik Sarah, menempelkannya pada luka bekas pukulanku.
“Bangun.. Aku ga bermaksud!” Divan tak kuat menahan tangisnya, ia menangis sekuat tenaganya.
Tak lama, sayu sayu Sarah membuka matanya, mengerjap ngerjap matanya untuk memperjelas.
“Divan…? Fakhri…?” Suaranya sangat lemah, bibir mungilnya hanya membuka 1 cm.
“Muka kamu?” Tanya Sarah mengelus luka di wajah Divan, Divan tersenyum pedih.
“Ga apa apa. Sarah, aku ga sengaja untuk menabrak kamu.” Balas Divan menunduk, kulihat Sarah tersenyum.
“Fakhri…” Panggilnya, sedari tadi aku hanya berdiri jauh dari mereka. Aku mendekati Sarah, yang sekarang ada dikirinya.
”Aku tahu, kamu sayang sama aku. Selamat ya kamu menang lomba, semoga kamu terus menang ya. Fakhri, satu hal! Jangan memarahi Divan. Aku tahu, kamu selalu ingin yang terbaik untuk aku, setiap orang yang menyakiti aku, kamu selalu membela aku dengan cara apapun.” Ucapnya menggenggam erat tanganku, aku hampir lupa.
“Ini, gue beli ini Sarah. Gue ga lupa sama lo, gue selalu ingat yang lo suka.” Ucapku mengeluarkan boneka berukuran sedang, kutaruh di sisi kiri kepalanya.
“Makasih, Ri. Aku rasa, kali ini cukup aku hidup bahagia bersama kalian. Sekarang aku mulai lelah tertawa bersama kalian, bersenang senang bersama kalian.” Balasnya, aku terbelak. Aku dan Divan terus memanggil namanya, tapi semua takdir, Sarah harus pergi.
“Sarah!!!”
12 tahun kemudian…
Kubuka lembaran albun fotoku bersama Sarah, aku merindukan masa masa SMA ku. Kini aku sudah berumah tangga, istriku bernama Ranti. Ranti sudah tahu tentang masa lalu ku, kami bertemu di waktu masih kuliah. Agar aku selalu ingat Sarah, kuselip namanya di nama putriku yang berumur 10 tahun. Bagi Ranti itu tidak masalah, ia menganggap juga Sarah sahabat matinya sekarang. Aku sering mengunjungi makamnya, kadang aku bertemu Divan bersama seorang wanita yang mungkin istrinya.
Aku sudah memaafkan Divan, kini masing masing hidup bahagia. Aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, cinta hanya butuh ketulusan, dimana kita masih mencintainya yang harus memperjuangkan. Sarah, kamu cinta pertamaku, HARI INI, ESOK, DAN SETERUSNYA!
“Cinta ga harus dimiliki, cinta hanya butuh ketulusan. Dimana kita masih mencintainya dan harus memperjuangkan walau lubang kecil menjebak.” -Divan (Today, Tomorrow, and Forever)
“Aku mencintaimu, sampai si bisu berbicara kepada si tuli bahwa si buta melihat si lumpuh berjalan. Dan sampai aku benar benar tak berguna.” -Fakhri (Today, Tomorrow, and Forever)
“Sepertinya harus bisa membedakan mana kasih sayang sebagai kekasih dan kasih sayang sebagai sahabat.” -Sarah (Today, Tomorrow, and Forever)
Maaf kalo ada yang typo, :D nama tokoh sebenarnya ga gini sih. Hehe..
Cerpen Karangan: Feby Maryana
Facebook: http://facebook.com/Feby.Maryana.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar