Senin, 29 September 2014

Cerpen- Bayangan Dalam Gelap

Suasana malam yang gelap dan suara-suara binatang malam semakin menambah kesan seram malam itu. Luna yang pada dasarnya seorang penakut semakin menempelkan dirinya di samping Faira.
“Fai, lo yakin mau masuk ke sana?” Luna menarik ujung jaket Faira seperti anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya.
Faira menoleh, “kalo lo takut mending nggak usah ikutan deh…”
“Tapi…”
“Hei! Kalian berdua, cepetan ke sini!” teriak Edo yang sedang mengarahkan senter ke lubang kunci pintu bangunan tua yang gelap dan terlihat sangat menakutkan.
Sementara itu Dika sibuk ‘mengutak-atik’ lubang kunci untuk bisa membuka pintu tua yang sepertinya terbuat dari kayu jati itu.
Clik!
Terdengar bunyi dari lubang kunci. Akhirnya Dika berhasil membuka pintu tersebut.
“Kalian siap?” tanya Dika, memandang pada ketiga temannya. Sebelah tangannya menempel pada gagang pintu, bersiap membukanya.
Semuanya bermula beberapa hari yang lalu. Saat Dika dan Edo yang sedang dihukum oleh Pak Reza karena terlambat masuk, untuk membersihkan kamar mandi yang berada di belakang sekolah. Kamar mandi itu sebenarnya jarang dipakai karena letaknya yang agak tersembunyi dan lebih jauh.
Saat itulah Dika melihat sebuah bangunan tua yang menyempil di antara gudang sekolah dan kamar mandi yang sedang dibersihkannya. Sekilas bangunan yang tidak terlalu besar itu terlihat seperti bagian lain dari gudang. Padahal, bangunan itu adalah bangunan tersendiri yang berdempetan dengan gudang.
Saat itulah sebuah ide terlintas di kepala Dika.
“Tapi, setahuku bangunan itu udah nggak pernah kepake lagi… terus… terus katanya berhantu!” kata Luna menolak ide Dika.
“Nah, karena berhantu itulah yang buat jadi seru!” sanggah Dika.
Sementara itu, Faira dan Edo hanya diam mendengarkan perdebatan Dika dan Luna.
“Menurut kalian gimana?” Luna menoleh pada Faira dan Edo, sambil berdo’a dalam hati, semoga mereka berdua tidak setuju dengan rencana gila Dika. “Kalian nggak setuju kan kalo kita melakukan ‘investigasi’ ke bangunan berhantu itu?”
“Hm, kenapa nggak?” jawab mereka berdua bersamaan. Yang kemudian disambut senyuman puas Dika.
Luna hanya bisa menghela napas. Kalau sudah begini, dia tidak mungkin bisa menolak rencana Dika lagi.
Dan di sinilah sekarang mereka berempat berada. Di depan sebuah bangunan tua pada malam hari, hanya untuk membuktikan apakah desas-desus yang mereka dengar selama ini benar adanya.
“Lun, Luna! Ayo masuk!” teriakan Faira yang keras menyadarkan Luna.
“Ah? I… Iya…”
Luna mengikuti Faira masuk ke dalam —dengan masih menggenggam erat-erat ujung jaketnya. Sementara Dika dan Edo sudah berada di dalam.
Suasana di dalam bangunan itu sama gelapnya seperti di luarnya. Hanya ada dua cahaya yang berasal dari senter yang di bawa Edo dan Faira.
“Gelap banget… udah ya, kita keluar aja?” kata Luna memelas.
“Baru juga masuk…”
“Lun, kamu bawa kamera kan?” tanya Dika.
“Bawa…”
“Ya udah, kalo gitu kita mulai rekam sekarang.”
Dengan enggan Luna mengeluarkan kamera dari tasnya. “Tapi, kalo ada… kalo nggak sengaja terekam hal-hal… aneh… gimana?”
“Memang itu yang kita cari kan?” jawab Faira santai.
“Tapi…”
“Udah-udah… kalo berdebat melulu, kapan kita mulainya?” potong Edo. “Ka, ayo ke ruang sebelah…”
“Oke, kalian di sini aja ya?” kata Dika pada Luna dan Faira.
Setelah Dika dan Edo pergi, suasana jadi semakin gelap karena satu-satunya sumber cahaya berasal dari senter yang dibawa Faira.
“Fai…”
“Hm?”
“Gue takut…”
Tiba-tiba ruangan menjadi gelap. “Aduh, senternya rusak nih, Lun.”
“Faira…! jangan bercanda! Gue beneran takut!”
“Gue nggak bercanda, senternya emang…” tiba-tiba suara Faira terputus begitu saja.
“Fai… Fai… lo di mana? Fai… gue takut! Jangan bercanda!” teriak Luna ketakutan.
Tapi tak ada jawaban.
“Faira…! Edo…! DIKA…!” Teriak Luna hampir menangis.
Tapi tetap tak ada jawaban.
Seharusnya gue nggak nurutin keinginan Dika…
Seharusnya gue nggak melakukan ini…
Seharusnya….
Dika…
Faira…
Edo…
Luna semakin ketakutan karena merasa tidak sedang sendirian, dia merasakan ada orang lain di sekitarnya… tapi itu tidak mungkin Dika, Faira, atau Edo, karena mereka pasti akan memberitahunya.
Ya Tuhan…
Klik.
Tiba-tiba ruangan berubah terang. Dan terdengar suara koor dari belakang Luna yang menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
Luna menoleh. Di hadapannya tampak semua teman-teman sekelasnya —termasuk Edo dan Faira bertepuk tangan, dipimpin oleh Dika yang membawa kue ulang tahun.
“Apa-apaan…?” teriak Luna sama sekali tak mengerti.
“Selamat ulang tahun.” Kata Dika sambil tersenyum manis.
“Apa… jadi semua ini?”
“Semua rencananya si Dika, Lun!” sahut Faira sambil tertawa.
“Tapi, Lo lucu juga waktu ketakutan… hehehe…” goda Edo.
Luna menatap Dika sadis. “Kamu…” tapi beberapa saat kemudian Luna malah tersenyum haru. Dika benar-benar berhasil mengerjainya.
“Ayo, tiup lilinnya…” pinta Dika innocent.
“Eh, rekam dulu…” teriak salah satu teman Luna.
Luna yang baru menyadari keberadaan kamera di tangannya segera mengarahkannya pada Dika yang membawa kue, juga pada teman-temannya.
“Luna?” panggil Dika khawatir, karena Luna yang tadinya tersenyum mendadak terdiam dan wajahnya memucat.
Berkali-kali Luna menatap kemera dan teman-temannya secara bergantian… tapi kenapa gambar yang terekam dalam kameranya tidak hanya teman-temannya tetapi juga ada sosok-sosok lain yang… mengerikan?


Cerpen Karangan: Bela F. Azmi
Facebook: Bela Fataya Azmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar