Senin, 03 November 2014

Cerpen - BAGAI BINTANG SIRIUS

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Nella yang mulus.
“tampar aja terus! Tampar!” ujar Nella penuh emosi.
“beraninya kamu dengan ayah kamu sendiri!” balas ayah Nella.
“ayah? Ayah gue udah MATI” ujar Nella yang menekankan kata mati sambil tersenyum devil.
Plak! Tamparan kedua yang mendarat di pipi Nella, tapi anehnya Nella tidak kapok dan terus melawan.
“anda pikir, anda ayah saya? Kalau memang iya mana buktinya? Apakah ayah itu adalah seseorang yang meninggalkan istrinya yang sedang berbaring di rumah sakit dan dia pergi bersama selingkuhannya itu, apakah itu disebut seorang ayah?” ujar Nella yang air matanya mengalir. Sekarang suasana menjadi hening. Ayah Nella yang sedari tadi meluapkan emosi, sekarang dia duduk lemas di kursi.
Nella Shalsabilla gadis cantik, bermata agak sipit dan kalau dilihat tidak membosankan. Nella yang begitu bahagia ketika dulu sering menghabiskan waktu bersama ibunya, dan sekarang Nella menjadi pemurung. Nella berubah semenjak kepergian ibunya 2 bulan yang lalu. Nella memang belum bisa melupakan kenangan-kenangan indah bersama ibunya. Nella sangat shock dengan kepergian ibunya yang mendadak, apalagi melihat tingkah laku ayahnya, Nella tidak habis pikir dengan kelakuan ayahnya yang menurut Nella sangat kejam. Entah kapan Nella bisa memaafkan ayahnya dan entah kapan kehidupan Nella dilapisi dengan senyum manis penuh kebahagiaan.
Hari ini adalah hari senin, seperti biasa Nella berangkat sekolah. Sekarang dia sudah duduk di bangku SMA kelas 10. Nella memang baru tiga bulan sekolah di SMAnya itu, menurutnya sekolah dan gak sekolah sama aja, gak ada yang membuat Nella bahagia. Sering kali Nella melamun di kelas dan guru-guru di sekolahnya sudah mengetahuinya.
“Nella! Coba kerjakan soal di papan tulis!” ujar bu Rahma. Seketika tanpa basa basi Nella langsung maju ke depan dan menyelesaikan soal itu.
“dasar Nella! Gue heran sama dia, bu Rahma ngomong panjang lebar eh dia malah ngalamun” ujar Seri teman sekelas Nella.
“tau tuh, jangan-jangan dia autis” sambung Nadia.
“ih serem autis” ujar Seri lagi.
“Seri, Nadia diam kalian, sekarang kalian ke depan kerjakan soal ini!” ujar bu Rahma yang sedari tadi melototin mereka berdua.
TET… TET! Pelajaran pertama sampai ke empat berakhir, ini saatnya siswa siswi beristirahat.
“Kevin mana buku gue yang lo pinjem sini balikin!” ujar Seri yang suaranya terkenal paling keras di kelas.
Suara itu membuat Nella risih. SMA Graha Wijaya memang sekolah favorit dan banyak peminatnya. SMA tersebut terkenal dengan anak-anak orang kaya dan berprestasi, tapi bagi Nella walaupun sekolah itu terkenal unggul, di kelasnya sebagian besar dari mereka tidak mencangkup karakter dari sekolah itu, baginya kehidupan sekolah itu seperti panggung sandiwara, mereka seperti memakai topeng pengennya yang lebih-lebih, pahitnya gak mau. Saking brisiknya di kelas, Nella keluar kelas mencari tempat yang bisa membuat dia nyaman. Nella berjalan menuju taman belakang sekolah. Tempat itu memang sepi, jarang sekali ada anak yang datang ke taman itu. Tak sengaja Nella melihat sesosok orang yang sedang duduk di kursi dan mukanya tertutup topi, sehingga Nella tidak melihat mukannya, dan dia bepikir bahwa orang tersebut sedang tertidur. Angin sejuk yang membelai rambut Nella yang lembut itu membuat Nella semakin nyaman berada di tempat itu.
“senangnya menjadi angin, bisa terbang kemana saja dia mau. Apakah angin bisa terbang kemana mamah berada?” ujar Nella dalam hati.
“eh, ternyata ada orang ya?” ujar anak yang tadi duduk tertidur di kursi.
“emang lo pikir siapa? Setan?” balas Nella.
“tadinya si gue pikir setan, tapi ternyata kaki lo nginjek tanah juga” ujar anak tersebut sambil memamerkan senyum mautnya. Ternyata dia cowok.
“tempat ini nyaman yah, gue suka tempat ini” ujar cowok itu.
“gue juga, disini gue bisa ngerasain rasa nyaman” balas Nella.
“eh udah mau bel nih, pergi yuk!” ajak Nella.
Cowok itu malah senyum-senyum sendiri gak jelas.
“ntar deh, gue masih pengen disini” ujar cowok itu.
“lo gak takut dihukum? Ini kan udah bel” ajak Nella lagi dan tiba-tiba Nella langsung menarik tangan cowok itu dan pergi menuju kelas masing-masing.
Hari semakin sore, Nella pun bergegas untuk mandi. Ketika Nella berjalan ke kamar mandi, tak sengaja Nella mendengar pembicaraan ayahnya. Nella kaget ketika mendengar pembicaraan ayahnya.
“jadi ini alasan ayah” ujar Nella pelan.
Tanpa Nella sadari ayahnya sangat menyayangi keluarganya. Dulu memang ayah Nella pernah meninggalkan ibunya Nella yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, saat itu ibunya Nella sangat membutuhkan darah, darah Nella sama dengan ayahnya dan tidak cocok dengan ibunya. Hari itu memang sangat mendesak, mereka harus cepat-cepat menemukan donor darah, dan saat itu yang cocok hanyalah teman ayah Nella si perempuan gak jelas itu. Ayah Nella memohon-mohon sampai perempuan itu mau tetapi perempuan itu ingkar janji dan ibunya Nella tidak dapat diselamatkan.
“ayah, maafin Nella, sekarang Nella udah tau semuannya” ujara Nella dalam hati. Air mata Nella mengalir dan kesedihan semakin mendalam. Nella merasa sangat bersalah dengan ayahnya. Kini Nella keluar rumah mencari ketenangan.
Malam yang indah, walau indah tapi tak membuat Nella hilang dari kesediahnnya. Nella melamun dan terus memandangi bulan.
“gue anak yang bodoh, argh! ayah maafin Nella” ujar Nella tak peduli dengan ramainya kota dan lampu-lampu yang sangat menyilaukan. Gak tau kenapa Nella tiba-tiba kepikiran cowok yang di sekolah tadi, dia jadi flashback kejadian tadi siang.
“kenapa gue gak tanya nama cowok itu” ujar Nella.
“loh, kok gue jadi kepikiran dia sih” lanjut Nella.
Cowok itu memang tampan dengan mata teduhnya yang indah, alisnya yang tipis, hidungnya yang mancung, mukanya muka-muka eropa tapi ada unsur asianya dan ditambah lagi senyumnya yang dapat membuat terpesona ketika melihatnya.
“ih ngapain mikirin dia sih, bodoh” ujar Nella.
“siapa yang bodoh?” tiba-tiba ada suara cowok, Nella langsung menoleh dan ternyata cowok itu, cowok yang sedang Nella pikirkan.
“loh, kok kamu disini?” tanya Nella.
“emang kenapa? Ini kan tempat umum, siapa aja boleh dong ke tempat ini” ujar cowok itu.
Nella terdiam, dia kembali melihat langit yang penuh bintang.
“Gue tau kalo lo lagi ada masalah, gue bisa kok jadi temen curhat lo, itu si kalo lo mau” ujar cowok itu lagi.
“oh iya nama gue Gilang, nama lo siapa?” tanya cowok itu yang tenyata bernama Gilang.
“Nella” jawab Nella singkat.
“malam-malam gini di Jakarta bahaya loh, apa lagi buat cewek, lo gak takut?” tanya Gilang. “gak, takut kenapa?” balas Nella.
“hem lupain aja, masalah memang rumit ya, tapi itu tergantung bagaimana kita menyikapinya sih. Apalagi kalo kita kehilangan orang-orang yang kita sayang, gue juga pernah ngalamin kejadian yang kayak gitu” ujar Gilang.
“maksudnya, ngalamin yang kayak gimana?” tanya Nella.
“dulu gue penah kehilangan orang yang gue sayang, sempet kaya lo gini, tapi gue sadar itu bukan cara yang tepat buat ngehilangin rasa sedih. Gue sadar dengan gue sabar pasti semua akan berakhir indah” jelas Gilang.
Nella terdiam, seakan-akan kata-kata Gilang menyentuh batin Nella.
“sampai saat ini gue kagum loh. Sama bintang sirius, bintang yang selalu terang dibanding bintang-bintang lainnya, gimanapun cuacanya, bintang sirius akan selalu nampak terang, gue berharap lo kayak bintang itu, yang selalu tegar dan tersenyum walau ada cobaan” ujar Gilang yang tadi melihat bintang-bintang, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke Nella.
“gue bodoh yah, kenapa gue kayak gini” ujar Nella.
“udah lah, eh udah malem nih, lo gak pulang? Gue anterin yah?” ajak Gilang, Nella hanya mengangguk.
Dua bulan telah Nella lalui. Nella sudah memaafkan ayahnya dan sekarang kehidupan mereka sangat harmonis. Begitu pula dengan Gilang, mereka sekarang sangat dekat, bahkan Gilang lah yang dapat membuat hari-hari Nella lebih berwarna.
“ayah, Nella berangkat dulu ya” ujar Nella.
”iya, hati-hati ya!” balas ayah Nella.
Pagi ini begitu cerah, seperti perasaan Nella sekarang. Entah sihir apa yang membuat Nella menjadi ceria lagi, mungkin itu berkat Gilang. Nella keluar dari mobil ayahnya dan berjalan menuju gerbang sekolah. Tiba-tiba Nella bertemu Gilang.
“hai Nel, tumben berangkat pagi, udah sarapan belum?” tanya Gilang
Nella memang gak pernah berangkat pagi, paling-paling kalo berangkat 15 menit sebelum bel.
“kalau kaya gini gue gak perlu sarapan juga gak papa, melihat senyuman lo bisa gue jadiin pengganti sarapan gue yang super enak” ujar Nella dalam hati sambil tersenyum melihat Gilang.
“kok lo senyum-senyum sendiri? Kenapa? Terpesona sama kegantengan gue yah?” tanya Gilang narsis.
Nella hanya tertawa kecil sambil berlari menuju kelasnya.
TET! TET! Bel tanda pelajaran hari ini berakhir.
“Nel!” panggil Gilang dari kejauhan. Nella menoleh sambil memberikan senyuman ke Gilang.
“temenin gue yuk!” ajak Gilang.
“kemana?” tanya Nella.
“ntar juga lo tau, yuk! Lo mau kan?” ajak Gilang lagi.
“iya deh” jawab Nella.
Mereka menuju parkiran motor dan berjalan menuju tempat tujuan. Akhirnya mereka sampai di sebuah taman.
“oh, jadi kesini kirain ke mana” ujar Nella.
“lo gak suka yah? Ya udah gak jadi ke sini deh” ujar Gilang.
“gak kok, udah sini aja, lagian juga tempat ini asik” ujar Nella.
“kok lo tau kalau tempat ini asik?” tanya Gilang.
“dulu gue sering ke sini, habis pulang sekolah, kok lo tau tempat ini?” tanya Nella.
“gue juga sering ke sini” jawab Gilang.
“ngapain?” tanya Nella.
“kepo banget si lo Nel” ujar Gilang sambil tertawa.
Sekarang suasana menjadi hening.
“gue seneng sekarang liat lo yang udah bisa tersenyum melupakan masalah-masalah lo” ujar Gilang.
“ini berkat lo, lo bener Lang kalau kita kehilangan orang yang kita sayang pasti bakal datang orang yang menyayangi kita, bahkan lebih” ujar Nella sambil tersenyum ke arah Gilang.
“lo gak mau kan kehilangan lagi?” tanya Gilang.
“kehilangan siapa?” tanya Nella.
“gue”
“hahaha, becanda lo”
“loh kok ketawa, lo gak mau kan kehilangan gue?” tanya Gilang sambil senyum-senyum gak jelas.
“menurut lo?” tanya Nella balik.
“menurut gue si enggak, iya kan?” tanya Gilang dengan senyuman penuh makna.
“terserah Gilang aja deh, hahaha” ujar Nella.
“ciee ciee yang gak mau kehilangan gue, hahahahah” ujar Gilang penuh tawa.
SELESAI
Cerpen Karangan: Dini Febriyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar