“Masih belum mau cerita siapa dia?”
Kinan terkejut mendengar suara ayahnya. Buru-buru dia mematikan ponselnya.
“Apaan sih, Papa? Bikin kaget aja!”
“Walaupun cuma namanya?” tanya ayahnya sekali lagi.
Kinan menggeleng.
“Masih belum mau ngenalin Tante Widya sama aku, Pa?” balasnya sengaja.
Pak Helmi tertawa kecil.
“Ada surprise buat kamu.” katanya menyuruh Kinan mengikutinya.
Kinan bertanya dalam hati. Surprise apa yang disiapkan ayahnya untuk
dia? Mobil barukah? Beberapa bulan lalu dia sempat merajuk agar ayahnya
mau membelikan mobil. Alangkah enaknya kalau bisa bebas bawa mobil
sendiri. Kinan tersenyum penuh harap.
“Surprise!!” seru Pak Helmi.
“…Sayang, ini Tante Widya.” Pak Helmi memperkenalkan seorang wanita setengah baya di hadapannya.
Kinan hanya melongo. Wanita itu begitu cantik, walau di mata Kinan
ibunyalah yang paling cantik. Namun Kinan merasa tak keberatan saat
mengetahui ayahnya menjalin hubungan dengan seorang wanita setelah tujuh
tahun kepergian ibunya. Kinan tau ayahnya selama ini begitu kesepian
dan merindukan sosok seorang wanita untuk mendampinginya.
Tante Widya agaknya paham dengan keterkejutan Kinan. Dia segera
mengulurkan tangan. Kinan baru sadar setelah beberapa kali namanya
dipanggil.
“Tante cantik banget sih.” katanya asal ceplos yang membuat Tante Widya tersipu.
“Setelah sekian lama dirahasiain sama Papa, akhirnya aku bisa juga
ketemu Tante. Oya Tante, makasih ya bajunya waktu itu, keren banget! Jam
tangannya juga aku suka. Aku jadi nggak enak nih ngerepotin Tante.”
Tante Widya tersenyum manis.
Ah, Kinan langsung merasa cocok dengan wanita pilihan ayahnya.
—
Berulang kali Kinan melihat jam tangannya. Wajahnya terlihat gelisah.
“Kamu kenapa, Kin?” tanya Pak Helmi keheranan dengan tingkah anak semata wayangnya.
“Kok nervous begitu?”
“Iyalah, Pa. Ini kan makan malam pertama kita sama Tante Widya sebagai calon keluarga.”
“Mungkin sebentar lagi.”
Baru saja kalimat itu terucap oleh Pak Helmi, sosok yang ditunggu menghampiri mereka.
“Maaf ya.. Kalian sudah lama?”
“Belum kok, Wid. Mana Aldi?”
“Ke toilet sebentar katanya.” jawab Tante Widya sambil menyapa Kinan.
Tak lama kemudian terdengar sapaan seorang lelaki muda.
“Selamat malam semuanya.”
“Ayo duduk sini, Al.” kata Pak Helmi. “Kinan, kenalin ini Aldi anaknya Tante Widya.”
Kinan belum juga beranjak sewaktu Aldi mengulurkan tangan.
“Kenapa, Kinan?” tanya Tante Widya.
Kinan menggeleng. Mencoba tersenyum lalu menjabat tangan Aldi.
“Aldi sekampus sama kamu lho, Kin. Memangnya belum pernah lihat?”
“Nggak, Pa. Kinan nggak pernah lihat.”
—
Kinan menepis tangan kukuh di pundaknya.
“Kenapa sih kamu tega melakukan ini, Rey? Kamu tau kan? Kenapa kamu diam
aja, Rey? Kenapa kamu nggak jujur sama aku?!” Kinan tak bisa lagi
menahan amarahnya.
“Dengarkan aku dulu, Kinan! Aku nggak bermaksud membohongi kamu. Aku juga nggak tau kenapa harus begini.. Aku juga bingung..”
“Tapi kamu udah bohongin aku, Rey! Harusnya kamu cerita sejak awal!” Kinan bertambah emosi.
Lelaki itu berusaha merengkuh tubuh Kinan.
“Maafkan aku, Kinan. Mungkin hubungan kita memang nggak bisa diteruskan lagi..”
Kinan terkejut dan melepaskan pelukannya.
“Maksud kamu apa? Kita putus? Aku nggak mau, Rey… Aku nggak mau.. Ini nggak adil buat aku.. Aku nggak mau putus dari kamu!”
Kinan merasakan dadanya begitu sesak. Sekuat tenaga dia menahan perasaan namun air matanya tetap mengalir juga.
“Mengertilah, Kinan.. Kita nggak bisa meneruskannya lagi..”
“Nggak!!” seru Kinan.
“…nggak semudah itu perasaanku bisa berubah! Aku cinta sama kamu,
Renaldi.. aku cinta sama kamu.. Dan aku nggak akan pernah bisa
menganggap kamu sebagai kakak. Nggak bisa, Rey! Aku nggak bisa!”
Kinan langsung berlari meninggalkan Aldi yang masih mematung.
—
Suasana makan malam begitu hening. Kinan merasa ragu saat akan mulai bicara.
“Pa, kalau seandainya aku kost boleh nggak?”
Semua mata langsung tertuju ke arahnya.
“Buat apa? Jarak rumah sama kampus kamu kan nggak terlalu jauh. Lagian
kamu kan bisa sama-sama Aldi kalau ke kampus.” jawab Pak Helmi.
“Bukan itu, Pa. Pengen mandiri aja. Pengen ngerasain kost itu kayak gimana. Kalau denger dari temen-temen kayaknya seru.”
“Papa nggak setuju. Jangan aneh-aneh!”
Kinan terdiam. Gagal. Apalagi ya?
“Emm… kalau Kinan nemenin Vero boleh nggak, Pa? Kan kasian Vero di rumah
sama pembantu sementara ortunya lebih sering ke luar negeri. Vero
pernah minta Kinan tinggal sama dia, cuma nggak berani ngomong ke Papa.”
Kinan harap-harap cemas menunggu reaksi ayahnya.
“Kalau untuk dua atau tiga hari, Papa ijinkan. Tapi tidak untuk tinggal
di sana. Malah kalau mau, kalian bisa gantian. Ajak Vero bermalam di
sini.”
Kinan mendesah. Gagal juga. Wajahnya langsung berubah. Aduh, Papa! Aku
nggak mungkin tahan tiap hari bertemu dia! Jeritnya dalam hati.
“Kamu kenapa, Kinan? Ada masalah?”
“Nggak… nggak ada kok, Ma.” jawabnya menyembunyikan kegugupannya.
Aldi berkali-kali meliriknya. Dan Kinan berkali-kali membuang muka.
“Benar kamu nggak ada apa-apa, Sayang?” Tante Widya menghampiri Kinan yang sedang mencuci piring.
Kinan menoleh dan tersenyum.
“Aku baik-baik aja kok, Mama cantik. Nggak usah khawatir.” Kinan berusaha menyembunyikan perasaannya.
—
“Kamu terus-terusan menghindariku. Kamu pikir aku nggak tau itu?” Aldi menarik tangan Kinan.
Kinan mencoba melepaskan tangannya namun tak berhasil. Genggaman Aldi terlalu kuat.
“Jangan seperti ini, Kinan. Pikirkan orangtua kita! Tolong jangan egois! Kasihan Mama… kasihan Papa…”
“Aku egois?!” seru Kinan.
“…pernahkah sedikit saja kamu mengerti hancurnya perasaanku? Aku nggak
tahan setiap hari harus bertemu kamu! Sakit, Rey! Aku cinta sama kamu.
Nggak mudah menepis perasaan itu begitu aja.”
“Aku mengerrti, Kinan.. Aku mengerti.”
“Nggak! Kamu nggak ngerti!”
“Ada apa ini?” tanya Tante Widya. Segera menuju ke arah suara ribut yang
didengarnya. Dia tak tau apa yang mereka perdebatkan namun dari tadi
dia mendengar Kinan berteriak-teriak.
“Aldi, ada apa? Kenapa Kinan sampai teriak-teriak?”
Kinan menunjukkan wajahnya. Aldi meliriknya sedikit.
“Nggak ada apa-apa, Ma. Cuma masalah kecil. Biasalah beda pendapat sedikit.”
Tante Widya menoleh ke arah Kinan. “Benar begitu, Kinan?”
Kinan sedikit terkejut. Namun dia segera menganggukkan kepala.
“Ii..iya, Ma…” jawabnya gugup. “Ya udah, aku ke kamar dulu. Mau istirahat.” Kinan bergegas melewati Aldi dan Tante Widya.
Mata Aldi bergerak mengikuti langkah Kinan. Tak menyadari kalau sejak tadi ibunya memperhatikannya.
—
“Gue nggak kuat lagi, Ver! Bisa gila kalau lama-lama tinggal di
rumah! Gue nggak tahan kalau terus menerus ketemu Rey.” Kinan
menumpahkan semua perasaannya pada Vero, sahabat dekatnya.
“Lalu gue bisa apa, Kin? Lo kan nggak dibolehin sama bokap lo tinggal di
sini. Yang bisa gue bilang cuma lo harus sabar dan berusaha terima
kenyataan kalau sekarang Rey jadi saudara tiri lo. Mungkin kalian emang
nggak jodoh.”
Kinan menggeleng.
“Gue tetep nggak bisa, Vero! Gue nggak bisa!” Kinan setengah berlari
meninggalkan Vero. Sia-sia saja sekarang bicara pada Kinan, emosinya
belum stabil. Akan sulit memberi pengertian padanya.
—
“Kinan, temenin Mama belanja ya?” tanya Tante Widya saat melihat
Kinan santai menonton televisi. Walaupun sebenarnya pikirannya melayah
entah kemana.
“Iya, Ma. Aku ganti baju dulu.” jawabnya.
“Ok, Sayang. Mama tunggu di mobil ya? Jangan lama-lama.”
Kinan bergegas. Tante Widya sudah menunggu di dekat mobil. Namun raut mukanya berubah saat dilihatnya ada wajah lain di situ.
“Rey… emm.. Aldi ikut juga?” tanyanya gelisah.
“Iya. Biar dia ikut bantuin. Soalnya belanjaan Mama kali ini cukup banyak.”
Kinan memaksakan senyum. Tanpa berkomentar lagi dia masuk ke mobil.
“Sayang, kamu pindah kursi depan ya? Temani Aldi. Biar Mama di belakang.”
Dengan enggan Kinan keluar dan pindah ke depan. Sepanjang perjalanan dia
hanya diam saja. Sewaktu belanja pun dia lebih banyak tutup mulut.
Hanya sesekali menjawab kalau ibu barunya bertanya minta pendapat.
“Kalian tunggu sini, Mama ke toilet dulu.”
Kinan melirik Aldi. Sejak tadi dia merasa kalau Aldi memperhatikannya.
Kinan teringat masa-masa mereka bersama dulu. Buru-buru ditepisnya
perasaan itu.
“Kamu mau aku beliin es krim?” Aldi mencoba buka suara.
“Kamu pikir aku anak kecil?!” sungut Kinan.
“Biasanya juga mau.”
Kinan diam. Aldi benar. Biasanya dia memang mau. Bahkan tak jarang dirinyalah yang meminta Aldi membelikan es krim kesukaannya.
“Sekarang nggak lagi.”
“Kamu masih marah sama aku?”
Kinan menggeleng. “Nggak ada gunanya juga kan? Keadaan juga nggak akan berubah.”
Tiba-tiba Aldi merangkul bahu Kinan. Tersenyum getir.
“Harusnya kamu tau, aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Tapi kita
harus bisa terima, Kin. Keadaan kita berbeda sekarang. Kita nggak
mungkin bisa seperti dulu lagi?”
“Kenapa nggak bisa, Rey? Toh kita nggak ada hubungan darah.
Aldi menatap Kinan, lalu melepaskan tangannya.
“Jangan gila kamu!”
“Justru aku bisa gila kalau begini terus!”
“Ada apalagi ini?” Tante Widya tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Aldi dan Kinan terkejut.
“Kalian bertengkar lagi? Kenapa sih kalian ini? Apa masalahnya? Apa yang kalian ributkan? Mama heran sama kalian….”
“Nggak ada, Ma. Cuma soal es krim.” jawab Aldi santai.
“Es krim..?” Tante Widya mengerutkan kening. “Ya sudah, kita makan dulu. Pokoknya Mama nggak mau lihat kalian bertengkar lagi.”
—
“Ngapain kamu?” tanya Aldi heran. Tak sengaja dia melihat kamar Kinan
yang terbuka. Tampak Kinan sedang memasukkan pakaian ke tas yang cukup
besar.
“Aku mau pergi.”
“Jangan macam-macam, Kin!” seru Aldi.
“Aku butuh waktu sendiri. Jangan halangi aku!” Kinan menepis tangan Aldi yang menarik tasnya.
“Papa bisa marah. Dan Mama pasti panik.”
“Kamu pikir aku mau kabur? Aku akan pamit sama mereka.”
“Kamu mau ke mana, Kinan?” tanya Aldi khawatir.
“Bukan urusan kamu! Minggir!” Kinan menyenggol lengan Aldi yang menghalanginya. Dia bergegas keluar.
“Tunggu Papa dan Mama pulang dulu!”
“Aku akan pamit sama mereka. Sudahlah! Jangan ikut campur!”
“Kinan, ayolah…” Aldi berusaha membujuk.
“Jangan coba-coba ikuti aku atau Papa dan Mama tau hubungan kita!” ancam Kinan.
“Kinan! Apa-apaan sih?”
“Aku bisa nekat, Rey!!”
Akhirnya Aldi mengalah. Dia hanya bisa memandangi Kinan yang masuk taksi dan berlalu dari hadapannya.
—
Vero mondar-mandir dengan gelisah.
“Ayolah Kinan, angkat! HP lo bunyi terus dari tadi.”
Kinan tak juga bergeming. Dia masih terlihat sibuk menarikan jari-jainya
di laptop. Kinan tak pernah serajin ini mengerjakan tugas. Dia hanya
menyibukkan diri. Melihat Kinan tak menunjukkan reaksi apapun, Vero
mengambil HP Kinan.
“Dari Tante Widya! 20 missed calls? Kin, selama beberapa hari lo di
sini, belum pernah Tante Widya hubungi lo sebanyak ini. Angkat, Kin!
Siapa tau penting.” bujuk Vero.
HP Kinan kembali berdering. Kinan tak juga menggubrisnya. Vero buru-buru mengangkat.
“Ini Vero, Tante. Kinan? Emm.. Kinan lagi ke toilet! Sakit perut, Tante…
ya sakit perut.. Iya, cuma kebanyakan rujak tadi…” Vero terbata-bata.
Tiba-tiba wajahnya berubah. “Oh iya, Tante. Vero segera sampaikan sama
Kinan. Makasih, Tante. Siang.”
Vero pelan-pelan menghampiri Kinan.
“Nyokap lo kasih tau.. Aldi, emm.. maksud gue Rey.. kecelakaan. Tadi pagi.”
Kinan menghentikan pekerjaannya. Menatap Vero. Berusaha meyakinkan.
“Sekarang di rumah sakit. Kritis. Baru aja dioperasi, kata nyokap lo pendarahan otak.”
Kinan tersentak. Dia buru-buru berdiri.
“Lo mau ke rumah sakit? Gue anter.” Vero bergegas mengambil kunci mobil.
Sepanjang perjalanan, Kinan tampak gelisah. Vero berulang kali
menenangkannya. Wajahnya terlihat panik. Begitu tiba di rumah sakit,
Kinan segera berlari ke ruang operasi. Dilihatnya kedua orangtuanya
duduk merenung dan gelisah.
“Ma…” Kinan langsung memeluk Tante Widya.
“Sabar ya, Ma.” Kinan berusaha menenangkan Tante Widya. Sebenarnya dia
pun tak kalah khawatir, namun dia tak ingin diketahui oleh orangtuanya.
Begitu dokter keluar, mereka langsung memburunya.
“Kita tunggu beberapa jam dulu. Semoga dia berhasil melewati masa kritisnya.”
Tante Widya terlihat sangat pucat. Kinan mendadak khawatir.
“Lebih baik Papa dan Mama makan dulu. Mama pucat banget. Biar aku sama Vero di sini.” Kinan membujuk Tante Widya.
Begitu orangtuanya berlalu. Kinan segera masuk ruang ICU. Menatap Aldi yang terbaring dengan selang di sekujur tubuh.
“Ayo bangun, Rey! Bangun! Kamu harus kuat. Jangan tinggalin aku, Rey! Bangun, Rey!”
“Kinan..?”
Kinan tersentak. Tante Widya telah berdiri di belakangnya. Raut wajahnya menyiratkan bahwa dia mendengar ucapan Kinan.
“Ikut Mama!” Tante Widya menarik Kinan keluar ruangan. Vero terkejut. Pak Helmi belum kembali dari kantin.
“Mama yakin kalau Mama tidak salah dengar. Kamu panggil Aldi dengan Rey. Iya kan?”
Kinan menunduk.
“Jawab Mama, Kinan!”
Kinan mengangguk perlahan.
“Apa kalian telah mengenal sebelumnya?”
Kinan bungkam. Vero khawatir. Dia segera mendekati Tante Widya.
“Tante, saya akan jelaskan semuanya.” Vero mengajak Tante Widya ke tempat lain yang lebih tenang.
“Kinan memang selama ini memanggil Aldi dengan Rey. Bahkan sebelum Tante menikah dengan Om Helmi.”
“Jadi mereka saling kenal? Kenapa mereka tidak bilang?”
“Mereka nggak mau menyakiti hati Tante dan Om Helmi.”
“Maksud kamu?” Tante Widya menyelidik.
“Rey adalah.. Rey itu pacar Kinan.” Vero ragu-ragu namun ia memang harus bicara.
Tante Widya begitu terkejut. Jadi ini alasan keganjilan sikap mereka selama ini?
“Mereka udah putus, Tante.”
“Kapan? Setelah Om dan Tante menikah?”
Vero mengangguk perlahan. Wajah Tante Widya bertambah pucat. Dia sungguh merasa bersalah.
“Kinan pergi dari rumah juga karena ini?”
Vero mengangguk lagi.
Tante Widya lemas seketika.
“Tante tidak tau harus bilang apa, Vero. Kalau sejak awal Tante tau
mereka berhubungan, Tante takkan rela bahagia di atas penderitaan
anak-anak Tante.” katanya berkaca-kaca.
“Ini bukan salah Tante atau Om Helmi. Aldi dan Kinan udah bisa terima kenyataan. Hanya saja Kinan memang masih rapuh.”
“Vero, kasih tau Tante ya apa yang bisa buat Kinan bahagia?”
Vero mengangguk mantap.
Tiga bulan kemudian..
“Kamu yakin akan lakuin ini?”
Kinan mengangguk.
“Mungkin ini yang terbaik buat kita, Rey. Aku nggak sanggup kalau saat
ini harus berada dekat kamu terus. Tolong, jangan menahanku! Papa Mama
udah setuju. Lagian beasiswa ke luar negeri sayang kalau dilewatkan.”
Aldi mendesah.
“Aku tau kamu sengaja mendaftar karena emang kemungkinan besar kamu yang akan mendapatkannya.”
“Ayolah, Rey. Sudah untung Mama nggak cerita tentang kita sama Papa.
Akan lebih baik kalau kita tinggal terpisah. Dengan atau tanpa beasiswa
itu pun aku akan tetap pergi jauh dari sini.”
Aldi memeluk Kinan.
Kinan tersenyum menahan air mata.
“Aku nggak akan menghalangimu, Kinan.”
—
“Kinan!”
Aldi terkejut saat pintu kamarnya terbuka dan mendapati Kinan berdiri di situ sambil tersenyum.
“Hai! Long time no see! Kebiasaan deh pintu depan nggak dikunci.”
“Kamu nggak ngabarin dulu mau pulang? Papa Mama lagi ada urusan di luar kota.” Aldi belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Santai aja. Tadi aku udah hubungi Papa kok. Tiga tahun aku pergi nggak ada yang berubah dari kamu.”
Aldi hanya tersenyum canggung.
“Oya Al, aku ada surprise buat kamu.”
Aldi terkejut. Merasa ada yang berbeda dari Kinan.
“Kamu panggil aku apa tadi?”
“Al? Aldi?”
“Kamu nggak pernah panggil aku…”
“Aku tau. Rey itu masa lalu. Sekarang yang ada di hadapanku itu Aldi, kakakku.”
Aldi seakan tak percaya dan langsung memeluk Kinan.
“Kamu emang berubah, Kin.”
“Nggaklah. Tapi tiga tahun mandiri cukup membuatku banyak berpikir.
Lagian aku emang harus lebih dewasa dong untuk bisa jadi seorang istri.”
Aldi terkejut. “Maksud kamu?”
“Surprise, Al!! Aku mau married.”
“Apa??!”
Aldi kembali tak bisa menahan keterkejutannya.
“Kaget ya? Tenang! Papa Mama udah tau kok. Beberapa bulan lalu waktu
Papa Mama nengokin aku kan cowokku langsung melamar aku. Aku sih yang
minta mereka rahasiain semuanya dari kamu.”
“Jadi di sana kamu dapat pacar bule dan sekarang mau married?” tanya Aldi shock.
“Ih enak aja! Produk dalam negeri tau! Tuh aku bawa orangnya di depan.”
Aldi buru-buru keluar kamar dan menuju ruang tamu. Dia justru makin terkejut.
“Ricky? Lo..?”
Orang yang dipanggil Ricky hanya tersenyum. “Apa kabar, Al?”
“Lo cowoknya Kinan?”
“Iya. Kaget gimana aku bisa pacaran sama temen SMA kamu?” Kinan merangkul bahu Aldi.
Aldi hanya tertawa kecil. Tak menyangka kepulangan Kinan membawa banyak kejutan untuknya.
“Dan aku dengar dari Mama, kamu juga berhubungan kan sama sahabatku? Mau main rahasia juga?” goda Kinan.
Aldi melongo.
“Kamu tau soal aku sama Vero..?”
Kinan hanya mencibir.
“Kin, aku senang kamu pulang dengan jiwa yang baru.” kata Aldi.
Kinan tersenyum. “Aku juga senang ternyata kita bisa menemukan kebahagiaan kita masing-masing.”
END
Cerpen Karangan: Taniya Naya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar