Kejadian ini ku alami ketika aku berusia dua belas tahun dan baru
masuk SMP, pada waktu itu aku sedang mengantarkan makanan kesukaan Nenek
ke rumahnya. Ayah, Ibu dan aku pergi meninggalkan Nenek sedirian di
rumah lama kami ketika Ayah mendapatkan promosi kerja dan diberikan
rumah dinas di dekat kantornya. Yang mengejutkan Nenek menolak ikut
pindah bersama kami.
“Rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan,” kata Nenek pada waktu
diajak pindah, dan Ayah tidak berani mendebat lagi walaupun merasa
sedih.
Setelah keluarga ku terpaksa pindah, aku selalu mengunjungi rumah
Nenek tiap akhir pekan sepulang sekolah, Ibu selalu menyuruh ku
membawakan makanan kesukaan Nenek atau pun baju baru untuknya.
Rumah Nenek letaknya agak jauh dari kota, aku masih harus jalan kaki
sekitar dua puluh menit lebih dari jalan raya sebelum sampai di jalan
menuju rumah nya. Daerah di sekitar rumah Nenek masih dikelilingi
pohon-pohon tinggi dengan daun-daun lebat, membuat suasana terasa teduh
sekaligus menyeramkan karena cahaya matahari sulit masuk sehingga
jalanan di situ terlihat remang-remang. Dulu aku suka sekali main petak
umpet dengan Ayah dan memanfaatkan kegelapan tempat ini untuk
bersembunyi, tapi sekarang tiap kali aku lewat sini aku selalu takut ada
ular atau hewan berbahaya lainnya yang mengintai.
Di tengah jalan menuju rumah Nenek terbentang sebuah jembatan kayu
panjang yang sudah reyot, kayu nya berderak-derak dan bergoyang tiap
kali ku lewati. Jembatan itu menjembatani sebuah jurang kecil yang cukup
dalam, waktu aku masih kecil Ayah dan Ibu tidak pernah memperbolehkan
ku lewat jembatan ini tanpa ditemani, tapi sekarang aku sudah bisa
melewatinya sendirian. Beberapa meter dari jembatan itu barulah rumah
Nenek terlihat, dengan atap nya yang mulai kotor dan tampak rapuh.
“Nenek pilek, ya?” tanyaku ketika aku sampai di rumah Nenek dan melihat hidung Nenek yang memerah,
“Cuma sedikit. Jangan khawatir, sayang,” jawab Nenek, suara nya sengau.
Nenek menyuruh ku duduk di kursi kayu besar di ruang tengah, lalu dengan cepat membuatkan dua gelas teh hangat.
Rumah Nenek tidak terlalu besar dan seluruhnya terbuat dari kayu,
sekarang cat putihnya mulai mengelupas dan di sana-sini terlihat bubuk
rayap.
“Aku bawa kue donat kesukaan Nenek,” kataku sambil mengacungkan wadah makanan yang dari tadi ku bawa-bawa,
Nenek tersenyum lembut lalu duduk di kursi kayu sebelah ku sambil menyerahkan segelas teh hangat ke tangan ku.
“Ayo kita makan sama-sama donatnya sambil ngobrol,” katanya, “bagaimana kabar Ayah dan Ibumu, Lala?”
“Baik, Nek. Ayah dan Ibu mau datang kesini minggu depan,”
“Oh, ya? Nenek kangen sekali sama mereka. Ayahmu pasti sibuk sekali,”
“Ya, sudah beberapa hari ini Ayah pulang malam,” jawab ku.
Nenek tersenyum kecil sambil mengangguk maklum.
“Nek, kenapa Nenek tidak ikut pindah saja ke rumah kami?”
“Sudah Nenek bilang, Nenek tidak mau meninggalkan rumah ini. Terlalu banyak kenangan,”
“Nenek masih kangen Kakek, ya?” tanyaku menyebutkan Kakek yang sudah lama meninggal bahkan sebelum aku lahir,
“Bukan hanya Kakekmu, Lala…” jawab Nenek lirih, “tapi juga Bibimu,”
“Bibi?” tanya ku kebingungan.
Nenek tidak langsung menjawab pertanyaan ku dan malah menggigit donat kesukaan nya, mengunyah nya pelan-pelan.
“Memang Ayahmu belum pernah cerita, Lala?” tanya Nenek,
“Tidak tahu, mungkin aku sudah lupa,” jawab ku cepat.
“Bibimu yang bernama Maria,”
“Ah, iya… aku pernah dengar!” seru ku, merasa ingatan ku sedikit
terbuka, “apa yang terjadi pada Bibi, kenapa aku belum pernah bertemu
dengannya?”
“Dia meninggal, Lala. Waktu berusia dua puluh tahun,” mata Nenek
terlihat sedikit sendu, “dia wanita yang sangat cantik, tapi umurnya
pendek. Dia meninggal terjatuh dari jembatan gantung di depan sana,”
Aku menelan teh ku agak terburu-buru dan terbatuk, tiba-tiba bulu kuduk
ku merinding membayangkan ada orang yang pernah jatuh dari jembatan kayu
itu. yang aku tahu di bawah sana ada banyak batu-batu runcing berukuran
besar, selebihnya aku tidak tahu.
“Waktu itu Kakek masih hidup?” tanyaku.
Nenek mengangguk pelan, matanya dengan segera berkaca-kaca.
Setelah itu aku berusaha mati-matian mengalihkan arah pembicaraan kami
dari topik tentang Kakek dan Bibi ku, karena Nenek kelihatannya hampir
menangis mengingat kepergian dua orang tersayang nya tersebut. Kami
beralih membicarakan tentang sekolah dan teman-teman ku yang
menyenangkan, juga tentang kucing peliharaan ku di rumah yang baru
melahirkan.
“Lala, sepertinya sudah mau turun hujan,” kata Nenek tiba-tiba,
Aku menengok kearah jendela dan benar saja awan hitam sudah bergulung-gulung di langit.
“Lebih baik aku pulang sekarang, Nek!” seru ku mendadak panik melihat jam dinding yang juga sudah menunjukan pukul lima sore.
“Kenapa kau tidak sekalian menginap saja disini hari ini, Lala?” tanya Nenek dengan wajah khawatir,
“Tidak bisa, Nek. Aku banyak PR!”
Dengan itu pun aku mencium kedua pipi Nenek dan berlari keluar rumah.
Air hujan sudah turun dengan deras ketika aku sudah berlari setengah
jalan dari rumah Nenek, aku menyesal tidak membawa payung dari rumah.
Tiba-tiba saja angin besar bertiup menggoyangkan pohon-pohon di sekitar
ku, aku menggigil mendekap tubuhku yang basah kuyup. Aku mendadak sadar
kalau ini bukan hujan biasa, ini hujan angin. Aku berlari sekuat tenaga,
pohon-pohon rindang tidak berhasil jadi tempat ku berteduh. Aku gemetar
ketakutan ketika sampai di jembatan gantung yang kini bergoyang-goyang
di tiup angin, mataku melotot berusaha memperjelas pandangan ku yang
kabur karena hujan.
“Apa sebaiknya aku lewat?” pikir ku dalam hati dengan kalut.
Entah aku mendapat keberanian dari mana, aku mulai menjejakkan
langkah pertama ke jembatan tersebut. Tubuhku agak limbung, ku cengkeram
salah satu sisi jembatan kuat-kuat. Aku berjalan selangkah demi
selangkah meniti jembatan kayu yang terus bergoyang. Tiba-tiba saja
angin yang bertiup terasa semakin kuat, jembatan bergoyang semakin
kencang. Kepalaku pusing, aku tidak berani bergerak lagi ketika ku
sadari aku sudah berada di tengah-tengah jembatan.
“Bagaimana ini…” erang ku bingung, aku menoleh kesana-kemari tapi yang kulihat hanya kabut,
“Tolooong…” aku menjerit pelan, berharap ada yang mendengar ku,
“tolooong…”
Beberapa menit berlalu, aku mulai merasa tubuhku semakin berat karena hujan.
“Heeey, ada orang disana?” tiba-tiba aku mendengar suara orang bertanya keras, “Halooo?”
“Iya, aku disini!!” jerit ku panik
Aku berusaha mencari sumber suara itu, lalu aku melihat seseorang
berbadan ramping berjalan terseok-seok menghampiri ku. Aku merasa lega
luar biasa. Dia seorang wanita tinggi mengenakan rok terusan berwarna
putih tulang, rambutnya panjang bergelombang. Wanita itu kelihatan susah
payah menghampiri ku.
“Tolooong,” aku mengerang,
“Tenang, tenang” kata wanita itu setelah cukup dekat dengan ku, “pegang tanganku,”
Kami pun berpegangan, tapi angin yang berhembus bertambah kencang. Aku
memeluk wanita itu erat-erat, sepertinya sekarang wanita itu juga tidak
berani melangkah karena permukaan jembatan sangat licin. Tiba-tiba aku
sadar ini bukan hujan angin biasa, ini badai. Jembatan tempat kami
berdiri terus saja bergoyang.
“Bagaimana kita sampai ke seberang?” tanyaku. Wanita itu tidak menjawab, ekspresi mukanya ketakutan setengah mati.
“Tenang, ya, tenang…” hanya itu yang dikatakannya dengan suara gemetar, rok terusannya berkibar-kibar menutupi wajah ku.
Beberapa menit kemudian samar-samar dari seberang aku melihat dua
orang petugas polisi menghampiri jembatan. Mereka sepertinya sedang
berpatroli memastikan tidak ada orang yang terjebak di jembatan ini dan
langsung berlari panik begitu melihat ada dua orang perempuan sedang
berpelukan di tengah-tengahnya.
“Tahan disana!” jerit salah seorang polisi, dia pun melangkah sedikit demi sedikit ke jembatan,
“Berjalan ke arah ku perlahan-lahan!” perintahnya,
Aku merasakan wanita di sebelah ku melepaskan pelukan nya, “kamu duluan jalan pelan-pelan,” katanya,
Dengan memberanikan diri aku berjalan beberapa langkah ke depan,
wanita di belakangku mengikuti sambil mencengkeram kedua bahuku erat.
Polisi di depanku juga terus berjalan pelan sambil merentangkan
tangannya untuk meraih ku.
“Ya, bagus. Jangan berhenti!” jerit teman polisi itu jauh di seberang. Aku mendengus, siapa juga yang mau berhenti!?
Akhirnya aku berhasil menyentuh tangan polisi itu, polisi itu
langsung menarik tubuh ku cepat. Saat itu lah aku merasakan cengkeraman
wanita di belakangku terlepas, aku berbalik kaget dan kulihat wanita itu
tergelincir.
“Aaaaaaaa!!!” wanita itu menjerit, aku menjerit ngeri bersamaan dengan jeritan nya.
Polisi yang menolong ku langsung menarik ku ke dalam pelukannya.
“Tenang, nak. Sudah aman,” katanya.
“Wanita itu! Wanita itu tergelincir!!” jerit ku terbata-bata, jantung ku rasanya ikut tergelincir bersama dengan wanita itu.
“Tenang, nak. Sudah aman,” kata si polisi sekali lagi. Aku memukul dadanya keras-keras,
“Wanita tadi, wanita di belakang ku jatuh! Cepat tolong dia!”
“Ya, ya kami akan menolongnya. Sekarang beritahu kami alamat rumahmu, biarkan kami mengantar mu pulang,”
“Tidak mau! Lihat dulu wanita itu!”
“Ya, ya, kami mengerti,”
Kedua polisi itu terus memaksa ku sampai aku mau menyebutkan
alamatku, sementara aku terus menyuruh mereka menolong wanita itu.
Karena rumah ku terlalu jauh, cepat-cepat aku memberi tahu mereka arah
rumah Nenek. Akhirnya dengan mobil polisi mereka mengantar ku ke rumah
Nenek lewat jalur yang jauh memutari jembatan. Sepanjang jalan aku
meraung menyesal mengingat wajah wanita itu yang terbeliak ngeri ketika
terjatuh dari jembatan, dia pasti menyesal sudah menolong ku.
“Sudah Nenek bilang kau jangan pulang,” kata Nenek saat aku dan kedua polisi yang sudah menolong ku sampai ke rumah nya.
Nenek melingkar kan handuk ke sekeliling tubuhku yang basah, aku terlalu
shock dan ketakutan untuk bicara. Dua polisi yang sekarang duduk di
ruang tamu kelihatan gelisah.
“Terimakasih sudah menolong Lala,” kata Nenek pada mereka,
“Ya,” jawab salah seorang dari polisi itu, “tapi Lala bilang dia bersama orang lain, seorang wanita. Kami tidak melihatnya,”
Aku mengerutkan kedua alis ku,
“Dia jatuh begitu kalian menarik ku dari jembatan,” kataku sambil sesenggukan, “sekarang dia tidak akan selamat,”
Polisi yang menarik tanganku menghembuskan nafas prihatin,
“Kalau memang ada orang yang jatuh dari sana, kami harus tahu ciri-cirinya,” gumam nya.
Sambil menekan isak tangis ku aku berusaha menjabarkan ciri-ciri wanita
itu pada kedua polisi tersebut. Rambutnya yang panjang bergelombang,
alis nya yang tebal, matanya yang besar, baju rok terusan putih
tulangnya. Tiba-tiba Nenek berjalan cepat ke belakang rumah dengan wajah
khawatir
“Lala…” panggil Nenek setelah kembali dengan langkah terburu-buru, “apa wanita ini yang kau lihat?”
Aku berbalik dan langsung menegang ketika kulihat Nenek memegang photo
berpigura indah dengan wajah wanita yang jatuh tadi tersenyum di
dalamnya.
“Nenek, kenapa kau bisa punya photo nya?” tanyaku,
“Lala. Ini photo almarhumah Bibimu, Maria…” jawab Nenek lirih.
THE END
Cerpen Karangan: Sheila Octavia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar