Senin, 03 November 2014

Cerpen - MARIA

Kejadian ini ku alami ketika aku berusia dua belas tahun dan baru masuk SMP, pada waktu itu aku sedang mengantarkan makanan kesukaan Nenek ke rumahnya. Ayah, Ibu dan aku pergi meninggalkan Nenek sedirian di rumah lama kami ketika Ayah mendapatkan promosi kerja dan diberikan rumah dinas di dekat kantornya. Yang mengejutkan Nenek menolak ikut pindah bersama kami.
“Rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan,” kata Nenek pada waktu diajak pindah, dan Ayah tidak berani mendebat lagi walaupun merasa sedih.
Setelah keluarga ku terpaksa pindah, aku selalu mengunjungi rumah Nenek tiap akhir pekan sepulang sekolah, Ibu selalu menyuruh ku membawakan makanan kesukaan Nenek atau pun baju baru untuknya.
Rumah Nenek letaknya agak jauh dari kota, aku masih harus jalan kaki sekitar dua puluh menit lebih dari jalan raya sebelum sampai di jalan menuju rumah nya. Daerah di sekitar rumah Nenek masih dikelilingi pohon-pohon tinggi dengan daun-daun lebat, membuat suasana terasa teduh sekaligus menyeramkan karena cahaya matahari sulit masuk sehingga jalanan di situ terlihat remang-remang. Dulu aku suka sekali main petak umpet dengan Ayah dan memanfaatkan kegelapan tempat ini untuk bersembunyi, tapi sekarang tiap kali aku lewat sini aku selalu takut ada ular atau hewan berbahaya lainnya yang mengintai.
Di tengah jalan menuju rumah Nenek terbentang sebuah jembatan kayu panjang yang sudah reyot, kayu nya berderak-derak dan bergoyang tiap kali ku lewati. Jembatan itu menjembatani sebuah jurang kecil yang cukup dalam, waktu aku masih kecil Ayah dan Ibu tidak pernah memperbolehkan ku lewat jembatan ini tanpa ditemani, tapi sekarang aku sudah bisa melewatinya sendirian. Beberapa meter dari jembatan itu barulah rumah Nenek terlihat, dengan atap nya yang mulai kotor dan tampak rapuh.
“Nenek pilek, ya?” tanyaku ketika aku sampai di rumah Nenek dan melihat hidung Nenek yang memerah,
“Cuma sedikit. Jangan khawatir, sayang,” jawab Nenek, suara nya sengau.
Nenek menyuruh ku duduk di kursi kayu besar di ruang tengah, lalu dengan cepat membuatkan dua gelas teh hangat.
Rumah Nenek tidak terlalu besar dan seluruhnya terbuat dari kayu, sekarang cat putihnya mulai mengelupas dan di sana-sini terlihat bubuk rayap.
“Aku bawa kue donat kesukaan Nenek,” kataku sambil mengacungkan wadah makanan yang dari tadi ku bawa-bawa,
Nenek tersenyum lembut lalu duduk di kursi kayu sebelah ku sambil menyerahkan segelas teh hangat ke tangan ku.
“Ayo kita makan sama-sama donatnya sambil ngobrol,” katanya, “bagaimana kabar Ayah dan Ibumu, Lala?”
“Baik, Nek. Ayah dan Ibu mau datang kesini minggu depan,”
“Oh, ya? Nenek kangen sekali sama mereka. Ayahmu pasti sibuk sekali,”
“Ya, sudah beberapa hari ini Ayah pulang malam,” jawab ku.
Nenek tersenyum kecil sambil mengangguk maklum.
“Nek, kenapa Nenek tidak ikut pindah saja ke rumah kami?”
“Sudah Nenek bilang, Nenek tidak mau meninggalkan rumah ini. Terlalu banyak kenangan,”
“Nenek masih kangen Kakek, ya?” tanyaku menyebutkan Kakek yang sudah lama meninggal bahkan sebelum aku lahir,
“Bukan hanya Kakekmu, Lala…” jawab Nenek lirih, “tapi juga Bibimu,”
“Bibi?” tanya ku kebingungan.
Nenek tidak langsung menjawab pertanyaan ku dan malah menggigit donat kesukaan nya, mengunyah nya pelan-pelan.
“Memang Ayahmu belum pernah cerita, Lala?” tanya Nenek,
“Tidak tahu, mungkin aku sudah lupa,” jawab ku cepat.
“Bibimu yang bernama Maria,”
“Ah, iya… aku pernah dengar!” seru ku, merasa ingatan ku sedikit terbuka, “apa yang terjadi pada Bibi, kenapa aku belum pernah bertemu dengannya?”
“Dia meninggal, Lala. Waktu berusia dua puluh tahun,” mata Nenek terlihat sedikit sendu, “dia wanita yang sangat cantik, tapi umurnya pendek. Dia meninggal terjatuh dari jembatan gantung di depan sana,”
Aku menelan teh ku agak terburu-buru dan terbatuk, tiba-tiba bulu kuduk ku merinding membayangkan ada orang yang pernah jatuh dari jembatan kayu itu. yang aku tahu di bawah sana ada banyak batu-batu runcing berukuran besar, selebihnya aku tidak tahu.
“Waktu itu Kakek masih hidup?” tanyaku.
Nenek mengangguk pelan, matanya dengan segera berkaca-kaca.
Setelah itu aku berusaha mati-matian mengalihkan arah pembicaraan kami dari topik tentang Kakek dan Bibi ku, karena Nenek kelihatannya hampir menangis mengingat kepergian dua orang tersayang nya tersebut. Kami beralih membicarakan tentang sekolah dan teman-teman ku yang menyenangkan, juga tentang kucing peliharaan ku di rumah yang baru melahirkan.
“Lala, sepertinya sudah mau turun hujan,” kata Nenek tiba-tiba,
Aku menengok kearah jendela dan benar saja awan hitam sudah bergulung-gulung di langit.
“Lebih baik aku pulang sekarang, Nek!” seru ku mendadak panik melihat jam dinding yang juga sudah menunjukan pukul lima sore.
“Kenapa kau tidak sekalian menginap saja disini hari ini, Lala?” tanya Nenek dengan wajah khawatir,
“Tidak bisa, Nek. Aku banyak PR!”
Dengan itu pun aku mencium kedua pipi Nenek dan berlari keluar rumah.
Air hujan sudah turun dengan deras ketika aku sudah berlari setengah jalan dari rumah Nenek, aku menyesal tidak membawa payung dari rumah. Tiba-tiba saja angin besar bertiup menggoyangkan pohon-pohon di sekitar ku, aku menggigil mendekap tubuhku yang basah kuyup. Aku mendadak sadar kalau ini bukan hujan biasa, ini hujan angin. Aku berlari sekuat tenaga, pohon-pohon rindang tidak berhasil jadi tempat ku berteduh. Aku gemetar ketakutan ketika sampai di jembatan gantung yang kini bergoyang-goyang di tiup angin, mataku melotot berusaha memperjelas pandangan ku yang kabur karena hujan.
“Apa sebaiknya aku lewat?” pikir ku dalam hati dengan kalut.
Entah aku mendapat keberanian dari mana, aku mulai menjejakkan langkah pertama ke jembatan tersebut. Tubuhku agak limbung, ku cengkeram salah satu sisi jembatan kuat-kuat. Aku berjalan selangkah demi selangkah meniti jembatan kayu yang terus bergoyang. Tiba-tiba saja angin yang bertiup terasa semakin kuat, jembatan bergoyang semakin kencang. Kepalaku pusing, aku tidak berani bergerak lagi ketika ku sadari aku sudah berada di tengah-tengah jembatan.
“Bagaimana ini…” erang ku bingung, aku menoleh kesana-kemari tapi yang kulihat hanya kabut,
“Tolooong…” aku menjerit pelan, berharap ada yang mendengar ku,
“tolooong…”
Beberapa menit berlalu, aku mulai merasa tubuhku semakin berat karena hujan.
“Heeey, ada orang disana?” tiba-tiba aku mendengar suara orang bertanya keras, “Halooo?”
“Iya, aku disini!!” jerit ku panik
Aku berusaha mencari sumber suara itu, lalu aku melihat seseorang berbadan ramping berjalan terseok-seok menghampiri ku. Aku merasa lega luar biasa. Dia seorang wanita tinggi mengenakan rok terusan berwarna putih tulang, rambutnya panjang bergelombang. Wanita itu kelihatan susah payah menghampiri ku.
“Tolooong,” aku mengerang,
“Tenang, tenang” kata wanita itu setelah cukup dekat dengan ku, “pegang tanganku,”
Kami pun berpegangan, tapi angin yang berhembus bertambah kencang. Aku memeluk wanita itu erat-erat, sepertinya sekarang wanita itu juga tidak berani melangkah karena permukaan jembatan sangat licin. Tiba-tiba aku sadar ini bukan hujan angin biasa, ini badai. Jembatan tempat kami berdiri terus saja bergoyang.
“Bagaimana kita sampai ke seberang?” tanyaku. Wanita itu tidak menjawab, ekspresi mukanya ketakutan setengah mati.
“Tenang, ya, tenang…” hanya itu yang dikatakannya dengan suara gemetar, rok terusannya berkibar-kibar menutupi wajah ku.
Beberapa menit kemudian samar-samar dari seberang aku melihat dua orang petugas polisi menghampiri jembatan. Mereka sepertinya sedang berpatroli memastikan tidak ada orang yang terjebak di jembatan ini dan langsung berlari panik begitu melihat ada dua orang perempuan sedang berpelukan di tengah-tengahnya.
“Tahan disana!” jerit salah seorang polisi, dia pun melangkah sedikit demi sedikit ke jembatan,
“Berjalan ke arah ku perlahan-lahan!” perintahnya,
Aku merasakan wanita di sebelah ku melepaskan pelukan nya, “kamu duluan jalan pelan-pelan,” katanya,
Dengan memberanikan diri aku berjalan beberapa langkah ke depan, wanita di belakangku mengikuti sambil mencengkeram kedua bahuku erat. Polisi di depanku juga terus berjalan pelan sambil merentangkan tangannya untuk meraih ku.
“Ya, bagus. Jangan berhenti!” jerit teman polisi itu jauh di seberang. Aku mendengus, siapa juga yang mau berhenti!?
Akhirnya aku berhasil menyentuh tangan polisi itu, polisi itu langsung menarik tubuh ku cepat. Saat itu lah aku merasakan cengkeraman wanita di belakangku terlepas, aku berbalik kaget dan kulihat wanita itu tergelincir.
“Aaaaaaaa!!!” wanita itu menjerit, aku menjerit ngeri bersamaan dengan jeritan nya.
Polisi yang menolong ku langsung menarik ku ke dalam pelukannya.
“Tenang, nak. Sudah aman,” katanya.
“Wanita itu! Wanita itu tergelincir!!” jerit ku terbata-bata, jantung ku rasanya ikut tergelincir bersama dengan wanita itu.
“Tenang, nak. Sudah aman,” kata si polisi sekali lagi. Aku memukul dadanya keras-keras,
“Wanita tadi, wanita di belakang ku jatuh! Cepat tolong dia!”
“Ya, ya kami akan menolongnya. Sekarang beritahu kami alamat rumahmu, biarkan kami mengantar mu pulang,”
“Tidak mau! Lihat dulu wanita itu!”
“Ya, ya, kami mengerti,”
Kedua polisi itu terus memaksa ku sampai aku mau menyebutkan alamatku, sementara aku terus menyuruh mereka menolong wanita itu. Karena rumah ku terlalu jauh, cepat-cepat aku memberi tahu mereka arah rumah Nenek. Akhirnya dengan mobil polisi mereka mengantar ku ke rumah Nenek lewat jalur yang jauh memutari jembatan. Sepanjang jalan aku meraung menyesal mengingat wajah wanita itu yang terbeliak ngeri ketika terjatuh dari jembatan, dia pasti menyesal sudah menolong ku.
“Sudah Nenek bilang kau jangan pulang,” kata Nenek saat aku dan kedua polisi yang sudah menolong ku sampai ke rumah nya.
Nenek melingkar kan handuk ke sekeliling tubuhku yang basah, aku terlalu shock dan ketakutan untuk bicara. Dua polisi yang sekarang duduk di ruang tamu kelihatan gelisah.
“Terimakasih sudah menolong Lala,” kata Nenek pada mereka,
“Ya,” jawab salah seorang dari polisi itu, “tapi Lala bilang dia bersama orang lain, seorang wanita. Kami tidak melihatnya,”
Aku mengerutkan kedua alis ku,
“Dia jatuh begitu kalian menarik ku dari jembatan,” kataku sambil sesenggukan, “sekarang dia tidak akan selamat,”
Polisi yang menarik tanganku menghembuskan nafas prihatin,
“Kalau memang ada orang yang jatuh dari sana, kami harus tahu ciri-cirinya,” gumam nya.
Sambil menekan isak tangis ku aku berusaha menjabarkan ciri-ciri wanita itu pada kedua polisi tersebut. Rambutnya yang panjang bergelombang, alis nya yang tebal, matanya yang besar, baju rok terusan putih tulangnya. Tiba-tiba Nenek berjalan cepat ke belakang rumah dengan wajah khawatir
“Lala…” panggil Nenek setelah kembali dengan langkah terburu-buru, “apa wanita ini yang kau lihat?”
Aku berbalik dan langsung menegang ketika kulihat Nenek memegang photo berpigura indah dengan wajah wanita yang jatuh tadi tersenyum di dalamnya.
“Nenek, kenapa kau bisa punya photo nya?” tanyaku,
“Lala. Ini photo almarhumah Bibimu, Maria…” jawab Nenek lirih.
THE END
Cerpen Karangan: Sheila Octavia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar